Aku sampai di depan rumah Hare Hoogheid Sofia dan langsung keluar dari mobil lalu menekan bel beberapa kali. Beberapa saat kemudian seorang pria bertubuh cukup ramping yang memakai pakaian seorang pelayan pria datang keluar dan menuju gerbang, berdiri di baliknya.
“Mohon maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa Anda kemari?” tanyanya.
“Saya Tantri Annie Dekker—anak Pak Erwin Dekker, Inspektur Dua—Divisi Keamanan Siber ingin menemui Hare Hoogheid Sofia. Ini keadaan darurat, mengenai Lodewijk Engels,” jelasku.
“Sebentar, saya ingin menelpon seseorang terlebih dahulu,” ujarnya sambil membalikkan badan, mengeluarkan smartphone-nya sambil berjalan menjauhi pintu gerbang. Pelayan itu berhenti agak jauh dari gerbang dan mulai berbicara dengan seseorang. Tak memerlukan waktu lama untuk menunggu, dia menyelesaikan pembicaraannya dan berbalik, berjalan kembali ke tempat semula.
“Anda membawa senjata api?” tanyanya. Aku mengangguk. “Serahkan senjata itu pada saya terlebih dahulu baru Anda boleh masuk!”
Aku berbalik, membuka pintu mobil, masuk ke dalam, mengambil pistolku dari dashboard, keluar dari mobil, dan menyerahkannya pada pria itu.
“Sebentar, saya akan buka pintunya. Sebaiknya Anda masukkan mobil Anda ke dalam,” ujar pria itu dan segera membuka gerbangnya.
Aku memasukkan mobil ke dalam, keluar dari mobil, dan menunggu pria itu selesai menutup pintu gerbang. Setelahnya, beliau membuka pintu rumah, memintaku untuk masuk ke dalam.
“Silakan masuk!”
Saat masuk aku melihat seorang wanita berambut pirang dengan tubuh agak mungil memakai kemeja lengan panjang berwarna putih dan rok panjang berwarna oranye gelap yang duduk di kursi tamu. Dia terlihat menawan, anggun, dan memesona. Apakah ini seorang Hare Hoogheid Sofia?
Dia berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arahku kemudian berhenti. Kepalanya mendongak ke wajahku dan dia memperkenalkan dirinya.
“Saya Sofia van Amsberg, pemilik kediaman ini. Selamat datang di rumah saya. Ayo, silakan duduk!”
Dia memintaku untuk duduk di bangku untuk tamu, sedangkan dia kembali duduk di kursinya.
“Anda ingin minum apa?” tanyanya.
“Ah, air saja. Terima kasih,” jawabku.
“Tuan Wisnu, tolong airnya,” pintanya. Ah, rupanya pria itu pelayannya.