Smartphone-ku dari tadi bergetar, tetapi aku—Tantri, tidak dapat menjawabnya sama sekali. Aku yakin itu mungkin Ilya atau Reis. Maafkan aku, aku tidak dapat menjawab telepon kalian karena aku sedang bertarung dengan seseorang di dalam toilet umum wanita tempat aku bersembunyi yang berada cukup jauh dari tenda acara Pasar Malam Besar.
Orang yang sedang berdiri di hadapanku adalah seorang wanita yang memiliki rambut pirang keputihan, mata dengan iris biru sedingin es, serta wajah yang tersenyum licik menunjukkan aura pembunuhnya. Dia memakai jaket kulit hitam dan celana serta sepatu taktis yang berwarna serupa. Apakah dia salah satu anggota SSE yang diceritakan Ayah?
Sebelum ketahuan, saat aku sedang bersembunyi di dalam salah satu bilik toilet duduk, seseorang menggedor-gedor pintu bilik toilet tempat aku bersembunyi. Aku tidak ingin keluar sehingga aku berteriak kepadanya bahwa urusanku belum selesai.
Tiba-tiba saja aku mendengar samar-samar suara sebuah pistol dikokang. Lantas refleksku langsung memicu tubuhku untuk segera bangun dan membuka pintunya. Ketika membuka pintu, orang yang menunggu di depan bilik toilet duduk tempatku bersembunyi sedang menodongkan pistolnya ke arahku. Aku langsung memegang tangannya dan menariknya ke atas, mengarahkan moncong pistol yang dia gunakan ke langit-langit.
Beberapa detik kemudian terdengar suara letusan pistol. Aku berusaha merebut pistol yang berada di genggamannya dengan menyundul kepalanya menggunakan dahi sekeras yang kubisa. Terdengar suara tulang retak, orang yang kuhadapi langsung menutup hidungnya dengan tangan kirinya. Aku langsung merebut pistolnya dari tangan kanannya saat fokusnya pecah, menyikut perutnya sehingga dia terdorong ke belakang. Sekarang pistol yang tadi dia pakai ada di genggamanku.
Matanya menatapku singkat. Menggunakan tangan kirinya yang sedang menutupi hidungnya, dia meluruskan hidungnya kembali secara paksa. Dia menyeringai sinis kemudian menyapaku yang sedang menodongkan pistolnya yang berada dalam genggaman tangan kananku.
“Goedenavond,[1] Tantri Annie Dekker. Berusaha ngegagalin pengeboman, ya?”
“Dari mana kamu tau namaku? Siapa kamu?” tanyaku.
“Aku yakin temenmu yang namanya Ilya Kozlovsky udah ngasih tau kamu mengenai identitasku, hm?” jawabnya.
“Salah satu dari Breivik bersaudari?” tanyaku.
“Betul! Izinin aku ngenalin diri, aku Geertruida Breivik. Aku seneng bisa ketemu kamu, Tantri Annie Dekker,” ujarnya memberikan gestur sedikit membungkuk.
Bahkan di hadapan kematian orang ini masih bisa bermain-main seperti itu. Sebelum aku melawannya dengan tangan kosong seperti yang sedang kulakukan sekarang, aku ingin langsung membunuhnya dengan pistol yang berada dalam genggamanku. Hanya saja saat aku menarik pelatuknya, tidak terjadi apa-apa. Pertarungan kami berlanjut.
Dia langsung berlari menerjangku, berniat menjepit tubuhku dengan tubuhnya di tembok yang ada di belakangku, tetapi aku membungkuk lantas menghindari serangannya dan menggunakan dorongan kedua pahaku sekuat mungkin untuk melemparkan tubuhku ke tubuhnya agar aku dapat menjatuhkan tubuhnya ke lantai menggunakan berat tubuhku.
Sebelum dia kehilangan keseimbangan, dia menyikut punggungku dengan sangat kuat, membuatku yang sudah melingkarkan lenganku di bagian perutnya kehilangan fokus dan jatuh ke atas lantai.