Antara Darah dan Hati 2 Dream Reality Seri 2

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #2

Chapter 1 Bagian 1 "Pencarian Mitra"

Saat ini, aku—Lodewijk Engels, adik dari korban penembakan seorang sniper anggota kepolisian, suasana hidupnya menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Naiknya berita kematian kakakku ke permukaan yang menjadi headline berita selama berhari-hari membuat diriku harus meladeni pertanyaan awak media yang terus menerus menodongkan berbagai mikrofon, kamera, dan alat wawancara lainnya.

Selama berhari-hari itu pula aku tidak bisa menghindari perhatian awak media. Aku—Lodewijk, mendapat panggilan untuk memenuhi wawancara dan bersaksi di hadapan penyidik terkait kematian yang menimpanya.

Sebenarnya Pak Erwin memberitahukan terdapat kamera yang merekam kejadian saat itu. Namun, Ilya berhasil meretas gawai yang merekam kejadian tersebut sehingga aku aman. Setidaknya untuk sekarang.

Kini satu-satunya hal yang dapat kulakukan untuk membalas kematian kakakku adalah menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Di rumahnya yang sekarang kutinggali, banyak berkas mengenai kasus yang pernah dia tangani. Sebagian di antaranya berhasil dimenangkan dengan cara curang bersama para hakim yang bersekongkol dengannya. Orang yang menjadi dalang di balik semua ini adalah atasannya yang berada di dalam lingkaran organisasi deep state yang menguasai pemerintahan dari balik layar.

Selain itu, Pak Erwin bersama anak buah kepercayaannya bekerja sama denganku dan Ilya untuk melacak serta menemukan keberadaan orang yang menjadi sumber utama semua permasalahan ini. Sayangnya pencarian kami tak menghasilkan apa pun. Kami hanya berhasil memancingnya keluar dari sarang. Itulah yang sedang kami pikirkan. Percuma saja kami memenangkan kasus tuduhan palsu ini jika tidak menemukan dalang di baliknya.

Bersamaan dengan itu, aku yang sekarang berada di rumahnya sedang berdiskusi mengenai beberapa orang yang dia anggap cocok menjadi mitra untuk melanjutkan penyelidikanku. Namun, sepertinya aku harus meminta maaf kepadanya.

“Mohon maaf, Pak Erwin. Dengan hormat, saya menolak bekerja sama dengan seorang mitra. Saya sering bekerja sendiri karena memiliki seorang mitra hanya akan menambah beban tanggung jawab saya.”

“Justru itu saya nawarin kamu kerja sama dengan mitra. Kamu salah satu orang yang jadi incaran musuh kita. Kalau kamu ikut mati, ancaman terbesar mereka bakal hilang dan kita enggak bakalan tau siapa kepala mereka. Alasan kamu harus kerja sama dengan mitra, supaya dia bisa ngelindungin kamu dari musuh yang mau membunuh kamu.”

“Tapi, gimana kalau ternyata mitra saya agen ganda? Kerjasama dengan dua pihak, sama Bapak dan sama mereka juga. Apa Bapak enggak pernah mikirin mengenai kemungkinan orang-orang kepercayaan Bapak enggak bakal berkhianat? Seharusnya Bapak sebagai Kepala Divisi Investigasi Kepolisian tau mengenai ini.”

“Tapi, mitramu orang pribumi.”

“Apa pengaruhnya? Saya ngelihat dua hakim yang berhadapan sama saya waktu sidang kemarin orang pribumi. Berdasarkan dokumen punya Ludwig, dan seperti yang Bapak lihat sendiri, kalau rantai terbawah komplotan ini orang-orang pribumi yang jadi anjing mereka.” Aku berhenti sejenak kemudian melanjutkan kalimatku. “Pribumi maupun ausländer[1], itu belum jadi patokan loyalitas mereka, Meneer.”

“Lalu, apa saran terbaikmu? Apa kamu bisa ngejamin kalau kejadian yang udah nimpa kamu kemarin enggak bakal terulang lagi?”

“Tentu saya enggak bisa ngejamin keselamatan diri saya sendiri, tapi apa Bapak yakin bisa ngejamin keselamatan saya? Keselamatan diri Bapak sendiri juga mungkin terancam, kan? Itu karena Bapak sendiri punya peran ganda, biar keberpihakan Bapak sama sisi yang sekarang Bapak bela, enggak ketahuan. Iya, kan?”

Dia tertegun mendengar jawabanku. Suasana hening memenuhi ruangan untuk sejenak.

Verdamnt! Du bist richtig gut im Reden, stimmt’s?[2]” ujarnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, mengisap batang rokok, mengembuskan asapnya, dan melanjutkan kalimatnya. “Dengar Lodewijk, saya tau kamu enggak mau terikat sama institusi punya pemerintah dan saya paham kenapa, tapi seenggaknya harus ada seseorang yang bisa ngelanjutin perjuangan kamu andaikan nanti sesuatu yang enggak diinginkan terjadi ke kamu. Ludwig mati ngelindungin kamu, dia bikin kamu dapet kesempatan buat ngelanjutin perjuangan kamu. Seenggaknya, jangan sia-siain pengorbanannya.”

“Saya tau itu, Meneer, tapi Meneer nawarin pada saya seseorang yang asalnya dari institusi punya pemerintah yang kemungkinan berkhianatnya besar.”

“Jadi, apa jalan alternatif yang kamu punya?”

Suasana hening kembali memenuhi ruangan. Aku berpikir sejenak hingga akhirnya menemukan jawabannya, walau hal ini mungkin akan ditentang. Sebaiknya aku coba saja terlebih dahulu.

“Saya kepikiran mengenai Muhamed. Hare Hoogheid Sofia pernah cerita kalau Ilhan dipanggil karena saran dari Muhamed yang kenal sama dia. Muhamed juga sepupunya. Saya yakin dia bakal bersedia buat bantu saya nyelesein kasus saudaranya. Dia juga mahasiswa jurusan hukum, seenggaknya dia pasti punya pengetahuan mengenai dunia hukum.”

“Mengenai itu, saya keberatan. Masalahnya, dia itu warga sipil dan masih mahasiswa. Secara hukum, orang kayak dia seharusnya dapet perlindungan saksi mata yang berarti enggak boleh kita libatin. Alesan kenapa dia ikut jemput kamu kemarin adalah karena permintaan Hare Hoogheid Sofia yang saya penuhi.”

Meneer, Anda tau kan, kalau orang-orang yang kita hadepin enggak bakal peduli sama yang namanya hukum dan undang-undang? Mereka bakal ngelakuin cara apapun buat ngelancarin rencana mereka. Saya enggak tau dengan Anda, Meneer. Tapi, jika saya jadi Anda, saya akan ngasih Muhamed izin buat ikut terlibat di lapangan—kalau dia mau, walau itu ngelanggar hukum. Kalau cara main mereka kayak gitu, saya akan main dengan cara yang sama juga. Geen regel zonder uitzondering.[3]

Pak Erwin terdiam sesaat, menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “kalian orang Belanda bener-bener enggak bisa diatur, selalu punya alasan buat ngelawan otoritas dan jago ngomong. Kadang saya kesel dengan kelakuan kalian yang kayak gitu, tapi adakalanya saya kagum.” Dia mengisap batang rokoknya lagi, mengembuskan asapnya, dan membuang abunya ke dalam asbak kemudian melanjutkan kalimatnya. “Baiklah Lodewijk, saya akan coba menghubungi Muhamed untuk jadi mitramu. Namun dengan catatan, karena Muhamed masih berstatus mahasiswa, kamu harus memperlakukannya seperti anak magang. Jangan kasih dia kerjaan yang berat dan di luar kewenangan yang saya kasih!”

“Kita lihat nanti, Meneer. Oh—ya, saya juga butuh Ilya buat bantuin saya ngeretas hal yang berhubungan sama dunia digital,” pintaku.

“Baik Lodewijk, akan saya sertakan Ilya juga jika dia bersedia. Akkoord?[4]

Akkoord,” jawabku sambil menjabat tangannya.

Urusanku di sini selesai. Sekarang tinggal menunggu Muhamed dan Ilya untuk menerima tawarannya. Aku harap mereka bersedia.

========================================================================

*Trivia

- Alesan kenapa Pak Erwin Dekker ngomong pake bahasa Jerman di part ini karena pada dasarnya asal keluarga Dekker itu dari Jerman, lebih tepatnya dari daerah Prussia. Di bawah ini 2 gambar screenshot berisi penjelasan mengenai itu.



Lihat selengkapnya