Aku—Muhamed, sedang berbincang dengan Kak Lodewijk di kamarku perihal tawaran yang kuterima dari Meneer Erwin Dekker. Setelah berdiskusi dengannya, Sofia, serta Meneer Erwin, akhirnya aku bersedia menjadi mitranya dalam menyelesaikan kasus yang menimpa sepupuku, Karim.
Selepas persetujuanku, aku kembali berbincang dengan Sofia. Dia bilang dirinya sangat merindukan Karim, tetapi tidak tahu kepada siapa dia harus melampiaskan rasa rindunya. Jadi, dia berbicara denganku.
Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari berbicara mengenai Karim hingga pengetahuan yang sejauh ini dia miliki mengenai Islam, terutama mengenai pernikahan dalam Islam. Dia masih memiliki pandangan berlawanan mengenai poligami. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskannya.
“Kenapa laki-laki boleh memiliki empat istri dan boleh menikahi perempuan lain tanpa seizin istri pertamanya? Bukankah itu curang? Sedangkan perempuan jika ingin menikah harus mendapat restu orang tuanya.”
“Hare Hoogheid, bukannya di dalam ayat yang Anda baca ada kelanjutan ayat itu? Jika laki-lakinya takut tidak dapat berbuat adil, maka sangat disarankan agar dia menikahi satu perempuan saja. Lagi pula, dalam agama Kristen; kitab Bibel juga menuliskan bahwa Raja Solomon memiliki banyak istri hingga jumlahnya melebihi ratusan.”
“Iya, saya mengetahui itu, tapi saya enggak habis pikir kenapa ada perempuan yang rela suaminya berbagi kasih sayang dengan perempuan lain?”
“Saya kan udah kasih artikel yang berisi cerita mengenai itu dan perempuan yang rela cinta dan kasih sayang suaminya dibagi. Mereka berkata tujuannya adalah untuk beribadah, mendekatkan dirinya pada Tuhan yang kami sembah. Lagi pula, kalau Hare Hoogheid jadi perempuan yang mengalami poligami, tapi Hare Hoogheid enggak suka, Hare Hoogheid bisa minta cerai—kalau mau. Istilahnya dalam agama kami disebut khuluk.”
“Tapi, gimana kalau perempuan itu masih sayang dengan pasangan hidupnya, padahal dia enggak setuju suaminya nikah dengan istri keduanya tanpa persetujuan istrinya?”
“Mungkin itu bagian dari ujian dalam hubungan rumah tangga umat Islam. Itu juga tekhusus bagi istri pertama untuk mencoba merelakan dan menyadari bahwa suaminya berhak membagi kasih sayangnya dengan istrinya yang lain karena memang hanya itu pilihannya, bertahan atau berpisah.”
“Saya takut.”
“Takut akan apa, Hare Hoogheid?”
“Saya sudah berjanji pada Tuhan. Jika kasus ini selesai dan Meneer Karim selamat, maka saya bakal mencari jalan yang benar untuk menyembah-Nya. Tapi, mengetahui ini saya takut kalau saya menerima Islam dan menerima Meneer Karim menjadi suami saya, dia akan menduakan saya dan punya keinginan untuk melakukan poligami. Saya udah diperlakukan dengan buruk oleh Vinno, jadi saya enggak mau merasakan rasa sakit yang sama lagi.”