Malam semakin larut. Rintik hujan yang turun kian lama kian deras, menambah hawa dingin yang menyelimuti tempat tinggalku. Hawa dingin ini membuatku terbangun dan ingin minum bir pletok. Aku—Lodewijk, keluar dari kamar menuju kulkas, mengambil satu botol besar bir pletok dan menuangkannya ke dalam panci untuk kuhangatkan. Setelah itu, aku menuangkannya ke dalam mug dan menaruhnya di meja ruang kerjaku yang letaknya terhubung dengan kamarku.
Aku kembali ke kamar sejenak untuk mengambil smartphone, lalu menyalakannya dan membawa ke meja kerja. Sembari duduk dan minum, aku memeriksa isi pesan yang masuk melalui media sosialku. Saat membuka WhatsApp, aku melihat Ilya berusaha menghubungiku berkali-kali dengan cara menelepon dan melakukan spamming pesan. Sepertinya cukup gawat. Aku menelepon Ilya, tetapi tidak ada jawaban hingga akhirnya aku mendapat pesan dari nomor telepon yang tidak dikenal. Dia bilang dirinya adalah Ilya. Awalnya, aku tidak percaya hingga akhirnya dia menunjukkan kemampuan meretasnya dengan mengubah foto profil WhatsApp-ku beserta mengubah namanya. Itu membuatku yakin kalau dia adalah Ilya. Aku coba meneleponnya melalui WhatsApp.
“Asalamualaikum, Kak Lodewijk. Ini aku Ilya, terserah Kakak mau percaya atau enggak, itu urusan Kakak karena dari tadi aku udah sumpah pake demi Allah, tapi Kakak enggak percaya. Oke, sekarang ke inti permasalahannya. Jangan banyak tanya! Kakak buruan pergi ke rumah Hare Hoogheid Sofia sama Pak Wisnu. Aku sama Muhamed udah nunggu di sini. Keadaannya gawat, ini mengenai keselamatan Kakak. Bawa dokumen yang sekiranya penting bagi Kakak!”
“Wa’alaikumussalaam. Iya, aku otw.”
Tanpa membuang waktu lagi, aku segera mengenakan pakaian yang kurasa cukup pantas kemudian memasukkan dokumen yang sekira penting ke dalam tas.
Aku segera membuka pintu gerbang rumah, mengeluarkan mobil, menutup dan mengunci rumah, lalu segera menancap gas, pergi menjauh dari sana. Saat keluar dari kompleks perumahan, aku melihat samar-samar dari kejauhan seseorang sedang mengendarai sepeda motor menerobos derasnya hujan. Dia berkendara menuju jalan masuk lain menuju kompleks perumahan tempat tinggalku. Suasana jalanan di sini sepi, hanya terdapat aku dan dia. Aku punya firasat buruk mengenai ini. Saat dia sudah menjauh dari tempatku berada, aku langsung menancap gas mobilku, menuju kediaman Sofia dengan suasana hati yang waswas. Aku berusaha tenang sambil terus-menerus mengucapkan laa hawla wa laa quwwata illa billaah.
Perjalanan dari tempat tinggalku menuju kediaman Sofia memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih 45 menit. Saat sampai, aku menghubungi Ilya kembali melalui fitur chatting. Aku melapor kepadanya bahwa aku sudah sampai sambil mengirimkan foto rumah Sofia.
Setelah beberapa menit, pintu gerbang rumahnya otomatis terbuka. Aku memasukkan mobilku ke dalam lalu melihat Ilya dan Pak Wisnu keluar dari rumah Sofia. Pak Wisnu menghampiriku sambil memegang payung untuk berteduh dari hujan. Aku keluar dari mobil kemudian berjalan menuju teras rumah sembari dipayungi olehnya sambil membawa tas yang berisi dokumen. Ilya hanya berdiri di teras, menunggu kami.
Saat masuk bersama mereka berdua, aku melihat Muhamed dan Sofia sedang duduk di sofa. Aku dan Ilya berjalan menuju sofa yang masih kosong, sedangkan Pak Wisnu menutup pintu rumah. Aku melihat ke arah meja, minuman hangat yang disediakan untuk para tamu sudah datang.
Pak Wisnu menghampiriku yang sudah duduk dan bertanya, “Tuan Lodewijk, Anda mau minum sesuatu?”
“Ah, jangan panggil saya tuan, panggil aja Pak Lodewijk. Dan juga, kenapa Anda melayani saya? Saya ngerasa enggak enak jadinya.”
“Hare Hoogheid Sofia yang minta saya buat ngelayanin tamu yang datang malam ini karena ada sesuatu yang gawat darurat. Kalau Anda enggak bisa nyebutin apa yang mau Anda minum, mungkin saya bisa nyaranin teh manis anget?”
“Ya, boleh.”
“Baik, Pak Lodewijk, mohon ditunggu.”
“Makasih, Pak Wisnu.”
Dia mengangguk dan segera berbalik berjalan menuju dapur. Ilya mulai angkat bicara, menjelaskan padaku mengenai keadaan darurat apa yang menyebabkanku harus pergi ke sini.
“Jadi—Kak Lodewijk, mengenai keadaan darurat, begini ceritanya. Kakak tau kan, aku hacker?”
“Iya.”
“Di luar kamarku, aku juga pasang kamera pin hole yang terhubung sama laptop dan smartphone yang kupunya. Kamera itu juga kurakit sendiri dan punya kemampuan infrared sama thermal yang ngubah gambar yang direkam supaya bisa ngedeteksi keberadaan senjata api atau benda-beda lain yang terbuat dari logam.”
“Ya, terus?”
“Kos-kosanku kedatangan penghuni baru hari ini. Dia perempuan, tinggal di kamar sebelahku. Coba lihat dua rekaman ini, yang versi rekaman biasa sama yang versi infrared dan thermal.” Dia menunjukkan rekaman perempuan yang berjalan melewati kamarnya lalu di dalam tas ransel yang perempuan itu bawa terdapat suatu benda yang terlihat seperti pistol. “Udah? Sekarang coba lihat mukanya sama perbandingan data penduduk yang aku dapet dan bandingin sama muka Gerda van Lynden yang waktu itu dateng dan nginep di Hotel Savoy sama mendiang Bu Chandra.”
Aku melihat perbandingan wajah yang terekam di kamera itu beserta perbandingannya dengan wajah Gerda van Lynden.
“Kesimpulannya; Kakak tau kan, kalau di Republik Indonesia Serikat susah dapet senjata api karena enggak ada toko resmi yang jual dan yang punya senjata api cuma boleh dari militer ataupun kepolisian? Makanya aku ke sini ngungsi dan ngubungin Muhamed juga buat dateng biar dia aman. Aku udah lapor ke Pak Erwin, dia ngirim anak buahnya buat dateng ke rumah Kakak, kos-kosanku, sama rumah Muhamed buat mantau keadaan.”
“Jadi, seharusnya sekarang kita udah aman, kan?” tanyaku.
“Belum, Kak, karena waktu aku ngirim data Gerta van Lynden ke Pak Erwin dan dia meriksa datanya, dia ketemu ini.” Dia menunjukkan data Gerda van Lynden, nama-nama palsu yang dia punya dan dokumen identitasnya yang sebenarnya padaku.
“Kakak inget kasus ini? Tanggal 9 September 2010, mobil van nabrak banyak pejalan kaki sama orang-orang yang baru bubar dari salat Id di Masjid Agung Sucilangkung terus meledak di depannya. Total korban meninggal akibat kejadian bom dan tabrakan itu ada seratus orang, korban luka jumlahnya ada puluhan.”
“Iya, inget kok.”
“Para pelakunya, mereka termasuk orang-orang yang kerja di kepolisian dan ngincer kita sekarang. Pak Erwin belum tau nama divisi mereka, tapi mengenai identitas asli para pelaku waktu diberitakan cuma dikasih inisialnya. Ini nama asli mereka: Gertrud Breivik, Trude Breivik, sama Geertruida Breivik,” jelasnya. Ilya berhenti sejenak, lalu melanjutkan penjelasannya. “Sejauh ini yang Pak Erwin tau dari file rekaman suara sama dokumen transkrip percakapan yang isinya kesaksian korban dan saksi mata ancaman pembunuhan sama pembunuhan yang pernah kejadian dalam kurun waktu lima tahun terakhir, beberapa di antaranya nyebut julukan ini, julukan yang divisi itu kasih ke diri mereka sendiri.
De Volks Geluiddemper, De rechterhand van de Wet, De Slager van het Volk, Duivels Honden, Verdomde Ambtenaar, Pijn van de Wet[1].”
Ilya kembali berhenti sejenak, membiarkanku menyerap informasi yang sudah dia berikan. Beberapa saat kemudian dia melanjutkan kalimatnya lagi.
“Mengenai divisi ini, cara membunuh mereka juga acak, polanya enggak bisa ditebak dan mereka susah dilacak sama kepolisian karena—”
“Karena mereka bagian dari institusi kepolisian. Aku udah tau itu, makanya aku enggak mau punya mitra dari kepolisian,” jawabku pada Ilya, mengiakan apa yang berusaha dia sampaikan. “Jadi, sekarang kita harus ngapain? Mengenai Pak Erwin yang ngirim anak buahnya, aku enggak tau apa mereka polisi ganda yang kerja buat Pak Erwin sama divisi itu juga atau enggak. Lagian, pada dasarnya kita juga enggak akan bertahan lama kalau gini terus. Cepet atau lambat, satu per satu dari kita bakal mereka libas, kita enggak punya senjata buat ngelawan mereka.”