Aku takut dengan senjata api. Melihat bentuknya saja sudah membuatku merasa gelisah. Alasan kenapa aku takut dengan senjata api adalah karena aku pernah melihat seseorang dibunuh dengan senjata api. Itulah yang membuatku—Muhamed, tidak mau berlatih memakainya tadi malam.
Umurku saat itu sekitar 15 tahun. Aku masih remaja awal yang sulit diatur. Saat itu, aku pulang larut malam setelah menongkrong untuk waktu yang cukup lama. Aku tidak ingin cepat sampai rumah. Aku memutuskan untuk mengambil arah pulang yang lebih jauh untuk membuang waktu.
Ketika melewati sebuah gang kecil, aku melihat dua orang sedang bertikai. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengeluarkan pisau dan mulai menusuk-nusukkannya ke tubuh lawannya. Tubuh orang yang ditusuk ambruk, kemudian ditembak sebanyak dua kali di kepala. Aku yang ketakutan melihat kejadian itu terpaku di tempatku berdiri akibat syok yang menyerang. Jantungku berdebar ketika sedikit cahaya lampu jalan menerangi bagian punggung orang yang telah membunuh lawannya. Dia mengenakan jaket kulit hitam yang di belakangnya terdapat lambang dan nama yang cukup ditakuti masyarakat Belanda, Jalan Darah MC.
Saat orang itu berbalik, dia melihat kehadiranku dan berjalan menghampiriku sambil secara perlahan mengangkat tangannya yang memegang pistol. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari secepat yang kubisa. Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku disusul dengan suara letusan senjata api.
Dia menembakkan senjatanya, tetapi meleset. Jantungku makin berdetak dengan kencang bersamaan dengan tembakan kedua, lalu ketiga. Aku yang sudah tidak tahu lagi bagaimana keadaanku dan persoalan apakah peluru mengenai badanku atau tidak, terus berlari dan berbelok ketika aku melihat sebuah tikungan. Tepat saat aku berbelok, terdengar suara letusan tembakan untuk keempat kalinya. Aku mendengar suara peluru meluncur mendesing di telingaku lalu pipiku serasa disayat oleh besi panas. Rasa panik makin menerpa diriku. Aku ingin berteriak minta tolong, tetapi tidak ada siapa-siapa saat itu, menyebabkanku tidak punya pilihan lain selain terus berlari.
Detak jantungku makin tidak karuan. Rasanya aku mau pingsan saja. Selang beberapa waktu, aku tidak mendengar suara tembakan lagi. Mengetahui itu, aku langsung bersembunyi di balik tembok sebuah rumah, bersandar, dan menangis sejadi-jadinya. Beberapa hari berikutnya aku jadi lebih pendiam daripada biasanya.