Langit menitikkan air mata lagi saat kami sampai di rumah persembunyian yang disediakan oleh Pak Erwin. Seorang pria paruh baya yang mengenakan jaket parka hijau, celana jeans biru, serta sneakers ini menyambut dan mengantar kami masuk ke dalam rumah secepat mungkin agar kami terhindar dari guyuran air mata langit. Kota ini yang sepertinya sering kali menangis, seolah-olah mengetahui berbagai kisah pilu yang dialami manusia di sini. Kak Lodewijk dengan kematian kembarannya, Muhamed yang harus menyelamatkan saudaranya, Sofia yang memperjuangkan cintanya, lalu aku—Ilya, yang harus menyelesaikan apa yang kumulai yang menyebabkan mereka semua berada dalam situasi seperti ini.
Apa kalian pikir aku takut? Tidak! Bukan takut yang kurasakan, tetapi penyesalan. Penyesalan karena membahayakan nyawa mereka hanya untuk sesuatu yang kuanggap benar, apalagi setelah Pak Ilhan dan Bu Chandra kehilangan nyawa akibat keteledoranku. Jika Ayah mengetahui apa yang sudah kulakukan, apa dia akan memaafkan? Apa dia akan memaklumi kejadian yang sudah menimpa kedua orang itu? Ah, aku tidak tahu.
Terkadang merasa bahwa orang-orang yang ada di sekitarku berpikir bahwa aku hanyalah seorang pengacau ketenangan dan kedamaian hidup mereka. Namun, kalau kupikir lagi, sebenarnya bukan aku yang memulai perangnya, melainkan Vinno. Dia yang pertama kali mengunggah video palsu itu, sedangkan aku berusaha menangkal tuduhannya dengan mengunggah video aslinya. Kukira perjuanganku akan lebih mudah, tetapi aku rasa pepatah bahasa Indonesia itu ada benarnya, “Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.”
Aku ingin meminta maaf pada Sofia, Kak Lodewijk, Muhamed, Karim, Tuan Wisnu, Bu Chandra, dan Pak Ilhan, tetapi—kalau kata orang Indonesia—nasi sudah menjadi bubur. Percuma memikirkan itu sekarang. Kak Lodewijk memilihku sebagai salah satu dari mitranya dalam menyelesaikan kasus ini bukan tanpa alasan. Karena itu, aku harus menggunakan keahlianku untuk membantunya sebaik mungkin.
Sesampainya kami di dalam rumah, dia memperlihatkan seisi rumah dan menunjukkan kamar kami masing-masing. Rumahnya tidak besar dan tidak pula kecil. Setidaknya cukup untuk kami melakukan aktivitas yang berhubungan dengan penyelidikan bukti atau sejenisnya dan supaya aku aman dari kejaran unit polisi yang berhasil meretas smartphone-ku.
Setelah menunjukkan ruangan untuk kami, dia menunjukkan ruangan khusus untukku, ruangan berisi perangkat keras yang cukup canggih dan terbarukan yang dirakit menjadi sebuah komputer untuk seorang peretas sepertiku. Beliau dengan segera menjelaskan pada kami semua bahwa rumah aman ini adalah salah satu dari sekian banyak rumah aman lainnya yang menjadi sarang penyidik di bidang IT. Sofia yang meminta Pak Erwin untuk menyediakan tempat aman untuk Kak Lodewijk, aku, dan Muhamed melakukan penyidikan—akibat dari penolakan Kak Lodewijk bekerja sama dengan institusi kepolisian.
Dia berkata bahwa dirinya paham kenapa Kak Lodewijk tidak dapat memmercayai institusi kepolisian karena dia sendiri mengakui bahwa dirinya—sebagai anggota kepolisian yang memihak pada sisi kami, mengatakan jika kepolisian sedang diawasi oleh petinggi pemerintahan. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak akan mempermasalahkan mengenai apakah kami memercayainya atau tidak, tetapi dia berharap kami berhasil dalam perjuangan ini. Dia kemudian pamit, menyerahkan kunci rumah aman, dan keluar dari rumah, pergi meninggalkan kami. Tidak lupa dia memberi nomor teleponnya sekiranya kami membutuhkan bantuannya, khususnya di bidang IT.
Setelah dia pergi, aku izin kepada Kak Lodewijk dan Muhamed untuk pergi ke ruang komputer untuk memastikan bahwa komputer yang kugunakan aman. Baik dari segala kode peretas, kode penyadap, maupun jaringan yang terhubung dengan komputer serta memeriksa sistem keamanan yang ada di rumah ini, seperti kamera CCTV, untuk memastikan bahwa sistem keamanan di sini tidak terhubung ke jaringan Badan Intelijen RIS maupun jaringan kepolisian dan tidak pula disadap oleh lembaga maupun institusi hukum dan keamanan pemerintah.
Selepas memeriksa dan memutuskan segala jaringan yang terhubung dengan pihak keamanan dan hukum pemerintahan serta menghapus segala jenis kode yang sekiranya kuanggap berbahaya, aku memasukkan semua file yang kudapat dari bunker tadi ke dalam komputer. Oh, sial! Beberapa dari file yang kuunduh menggunakan enkripsi AES-256. Beberapa file tersebut adalah file yang sepertinya penting dan berbahaya jika diketahui oleh orang yang salah.
Enkripsi adalah sistem keamanan yang membuat susunan sebuah file berubah menjadi kode algoritma yang berisi barisan nomor acak. Enkripsi hanya dapat dibuka jika kita mengetahui nomor acak tersebut yang merupakan sejenis kata sandi untuk mengubah kembali file tersebut ke dalam bentuk aslinya. Hanya saja enkripsi AES-256 adalah enkripsi terkuat yang bahkan peretas andal pun tidak dapat membukanya. Enkripsi sejenis ini digunakan Badan Intelijen Amerika Serikat untuk menjaga keamanan file rahasia mereka. Tidak ada cara lain. Aku sebenarnya ingin menghindari kontak dengan orang itu, tetapi tidak ada pilihan lain lagi. Kuharap, diri inj dapat memercayai orang tersebut. Kalaupun dia berkhianat, aku akan berusaha untuk membuatnya tetap menutup mulut, termasuk berusaha untuk membunuhnya jika hal tersebut terjadi.