Lelah, kantuk, takut, dan kecewa yang bercampur di dalam batinku, berubah menjadi amarah yang membara dalam diriku sekarang. Pria paruh baya bermuka dua sialan itu rupanya musuh dalam selimut yang menjadi duri dalam daging kubu kami. Aku, Muhamed, memang bukan tipe pemarah dan suka dengan kekerasan, tetapi aku benar-benar ingin memukul wajahnya sampai hidungnya patah dan gigi-giginya lepas dari rahangnya atau memukul urat nadi di lehernya berkali-kali supaya dia tersiksa karena sesak bernapas.
Baru saja selesai berhadapan dengan kematian, sekarang aku harus menghindari kematian lagi. Aku tahu memang tidak seharusnya diriku mengeluh, tetapi semua hal ini adalah baru bagiku. Aku kira kehidupan seorang mata-mata, agen rahasia, detektif, atau penegak hukum lainnya merupakan suatu hal yang keren. Namun, dunia nyata bukanlah sebuah film yang naskahnya dapat dibaca dan dapat diketahui akhirnya. Dunia beserta segala kisah makhluk yang ada di dalamnya sudah dibuat naskahnya oleh Allah. Hanya Dia-lah yang mengetahui bagaimana akhirnya.
Karim, bagaimana kau dan bangsamu dapat bertahan dari penjajahan dan penindasan, berjuang menghadapi ini semua agar kalian terbebas dari segala hal mengerikan tersebut? Bagaimana bangsamu dapat terus berharap bahwa kebebasan akan datang walau harus menunggu beratus-ratus tahun? Ah, entahlah! Aku tidak pernah merasakan penjajahan. Ya, negara asal orang tuaku memang pernah dilanda perang, tapi setidaknya negara asal mereka tidak pernah dijajah dan malah makmur di bawah kekuasaan Usmani, sedangkan di sini? Pertolongan Usmani hanya sedikit yang datang dan pribumi di sini harus melawan ancaman yang mengitari mereka sembari berharap pada Tuhan bahwa kebebasan akan datang pada mereka. Dikepung musuh, sendirian, tak ada bantuan. Jika aku pikir lagi, nyatanya kata inlander adalah sebuah kata yang hebat.
Aku yakin perjuangan para pahlawan kepulauan Indonesia lebih berat daripada perjuanganku. Jika mereka bisa melalui ini, menghindari semua kejaran musuh demi tercapainya kebebasan, aku pun harus bisa melakukannya. Aku tidak boleh lembek! Sama seperti Ernest Douwes Dekker, prinsipku harus sama dengannya dalam keadaan seperti ini: ik ben Indisch, ik ben Indonesiër[1].
Aku terus memaksa kakiku untuk melangkah mengikuti mereka, hingga akhirnya dari kejauhan dapat kulihat pompa bensin. Kami terus berjalan hingga sampai di pompa bensin. Di depan pompa bensin, kami bertiga sedikit berbincang dan memutuskan untuk masuk ke dalam convenient store, membeli makanan, dan minuman yang kami inginkan kemudian memakannya di tempat duduk dan meja yang disediakan dekat jendela yang menyatu dengan pintu masuk. Saat kami makan, Ilya masih mengutak-atik smartphone-nya lalu dia memberi tahu kami sesuatu yang tidak mengenakkan.
“Kalian, berhenti makan! Aku ngelihat dari CCTV sekitar pom bensin kalau ada tiga sepeda motor menuju ke sini dan orang-orang yang ngemudiin-nya pake jaket kulit hitam, celana hitam, pake helm. Kalau pengalaman kita sama, kalian masih inget enggak unit polisi yang ngejar-ngejar kalian tadi pakaiannya gimana? Kalau iya, kita harus keluar dari sini!” katanya.
“Kita enggak punya kendaraan. Kita harus gimana lagi buat kabur?” tanyaku dengan nada panik.
“Di dalam sini ada tiga pegawai. Coba tanya salah satu dari mereka, barangkali ada yang punya kendaraan yang bisa dipake,” jawab Ilya.
Aku, Ilya, dan Kak Lodewijk berpencar untuk menanyai masing-masing dari mereka. Aku pergi menuju pegawai yang berjaga di mesin kasir.
“Permisi Kang, punten, maaf ganggu. Saya boleh minta bantuan?” pintaku.
“Iya, kenapa, ya?” tanyanya.
“Akang tau orang rambut pirang itu siapa?” tanyaku.