Aku—Gertrud, bersama kedua saudariku sedang berkendara menuju tempat mereka terakhir terlihat. Geertruida mengatakan dia melihat tiga orang yang kami incar sedang berjalan menuju stasiun pompa bensin melalui kamera CCTV yang bisa diakses melalui smartphone-nya walau dia tidak yakin apakah ketiga orang tersebut adalah mereka atau bukan karena matahari belum terbit sepenuhnya.
Tadi ada sebuah mobil Toyota Hilux berwarna putih melewati kami dengan kecepatan tinggi menuju arah sebaliknya dari arah yang kami tuju. Jalanan di sekitar sini sepi dan tadi pun seperti itu. Sejauh kami berkendara, hanya mobil itu yang melewati kami. Aku ingin menaruh curiga, tapi percuma saja. Menurut informasi terakhir yang kami dapat dari orang kepolisian yang ditugaskan untuk memata-matai kubu Pak Erwin, dia bilang ketiga orang itu ke sini menggunakan taksi online dan bukan menggunakan kendaraan pribadi. Satu-satunya cara untuk mengetahui ini adalah aku harus pergi ke pompa bensin itu dan menginterogasi karyawan yang bekerja di sana.
Kami bertiga sampai di pompa bensin kemudian memarkirkan sepeda motor di depan convenient store. Hanya ada tiga orang karyawan di sini yang sedang menata rak-rak yang berisi barang dagangan, membersihkan kaca, dan satu orang lagi sedang menjaga kasir. Kami bertiga menatap satu sama lain dan mengangguk lalu masuk ke dalam. Aku pergi menuju petugas kasir dan berdiri di depannya.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan tersenyum.
Aku mengambil lencana kepolisianku dari kantong dan mengatakan maksud kedatanganku ke sini.
“Saya dari kepolisian, ingin menanyai Anda beberapa hal,” jawabku dengan singkat, padat, dan jelas sambil melihat gerak-geriknya. Dia mulai tegang.
“Apakah Anda melihat tiga orang ini kemari?” tanyaku sambil menunjukkan foto tiga orang yang kucari melalui smartphone-ku.
“Tidak, saya tidak melihat mereka. Seperti yang Ibu lihat, teman saya ada yang sedang menata dagangan dan mengelap jendela. Shift kerja kami baru dimulai,” ujarnya berusaha tetap terlihat tenang dan menjawab dengan nada biasa, tidak menunjukkan rasa takut.
“Boleh saya cek dompet Anda dan teman-teman Anda?” tanyaku.
“Bu, mohon maaf, kalau Ibu ingin melakukan penyelidikan, bukannya seharusnya ada surat perintah, ya?” tanyanya.
Ah, dia terlalu polos. Adakalanya polisi seperti kami tak harus mengikuti standar prosedur yang berlaku, apalagi unit khusus seperti kami. Ya, aku ingin kasihan dengan orang seperti dia, hanya seorang warga sipil yang terjebak di antara peperangan antara golongan kami dan mereka, tapi mau bagaimana lagi? Perintah adalah perintah. Lagi pula, kami baru saja diberikan racun jenis baru untuk aksi membunuh kami dan belum pernah dicoba kepada manusia mana pun. Sekalian saja aku melakukan tes di sini dan melaporkan hasilnya pada atasanku.
Aku mengeluarkan pistolku dan menodongnya. Gerak-geriknya mulai menunjukkan rasa takut, terlihat dari mimik wajah beserta matanya. Aku mengulangi permintaanku sekali lagi.