Sehari setelah sidang partai, aku menyampaikan pada pimpinan partai peralatan dan fasilitas apa saja yang aku dan kedua saudariku perlukan untuk melakukan ritual ini. Beberapa benda yang kami minta di antaranya adalah gaun dan kudung berwarna hitam, tongkat panjang yang di atasnya terdapat hiasan berbentuk sangkar, pemintal, benang, kalung jimat, dupa, tanaman henbane, ganja, rambut kuda yang diikat, darah anjing laut, dan darah serigala. Kami juga minta dicarikan sebuah bangunan kosong yang jauh dari keramaian agar bisa menghubungi para arwah dan dewa-dewi yang kami sembah.
Setelah memakai pakaian yang telah disediakan, kami bertiga duduk melingkar. Aku membakar tanaman henbane dan ganja yang kuletakkan di tengah-tengah kami. Aroma tanaman henbane dan ganja yang terbakar memenuhi seluruh ruangan. Kami mulai menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap dewa-dewi yang kami sembah, dilanjutkan dengan menyanyikan “Hávamál” dimulai dari bagian pembuka bernama “Gestaþáttr”, berisi tentang peraturan bertamu ke sebuah rumah atau hunian. Aku mulai menyanyikan stanza pertamanya.
“Gattir allar,
aþr gangi fram,
vm scoðaz scyli,
vm scygnaz scyli;
þviat ouist er at vita,
hvar ovinir sitia,
a fleti fyr.[1]”
Aku terus menyanyikannya bersama kedua saudariku hingga kami sampai di stanza ke-77.
“Deyr fę,
deyia frǫndr,
deyr sialfr it sama;
ec veit einn
at aldri deýr:
domr vm dꜹþan hvern.[2]”
Kami melanjutkan nyanyian kami hingga selesai sampai pada stanza ke-79 dan dilanjutkan dengan “Loddfáfnismál” yang berisi petuah mengenai moral, etika, serta petunjuk untuk melakukan apa yang benar. Setelah itu, dilanjutkan dengan “Rúnatal” yang juga dinamai dengan Nyanyian Odin, berisi mengenai kisah bagaimana Dewa Odin menemukan Rune dan pengorbanannya terhadap diri-Nya sendiri, oleh diri-Nya sendiri, dan untuk diri-Nya sendiri. Saat inilah kami mulai memintal benang dengan tongkat dan roda pemintal.
“Vęit ec at ec hecc