Dua hari telah berlalu sejak aku—Lodewijk Engels, dan kedua mitraku berhasil menyelamatkan smartphone Ilya dari virus malware yang menyerangnya. Menyadari bahwa bantuan kelompok kriminal bawah tanah yang menyelamatkan kami sebelumnya berguna, kami mengajak Geng Motor Jalan Darah bernegosiasi dengan kami agar bersedia untuk melakukan pekerjaan kotor yang kami pinta.
Negosiasi berjalan untuk waktu yang cukup panjang, tapi kemudian mereka setuju untuk melakukan hal yang kami pinta dengan bayaran yang tinggi tentunya. Entah bagaimana Sofia selalu punya dana yang tersedia untuk membayar jumlah yang mereka pinta. Aku pernah menanyakannya perihal dari mana dia punya uang sebanyak itu dan dia bilang banyak memiliki saham dari perusahaan bonafide dan sudah diajarkan berinvestasi sejak dini. Ya, wajar untuk orang seperti dia. Kadang aku mengkhawatirkan keadaan finansialnya. Sekaya apa pun seseorang, jika harus mengeluarkan dana besar secara terus-menerus pasti akan habis juga. Ya sudahlah, aku berharap semoga dia masih punya dana yang cukup untuk keperluan lainnya.
Setelah negosiasi, lingkungan di sekitar rumah Sofia lebih sering dipenuhi oleh pejalan kaki yang berlalu-lalang. Mereka ini sebenarnya adalah anggota geng motor yang menyamar dan diberi tugas untuk mengawasi area sekitar, sekiranya ada gerak-gerik mencurigakan dari unit polisi khusus maupun intelijen. Karena keberadaan mereka yang ditugaskan pula untuk mengawasiku, pada akhirnya aku diizinkan untuk keluar dari kediamannya sementara untuk melakukan urusanku.
Aku mengendarai mobilku menuju tempat tukang cukur terdekat karena rambutku sudah terlalu panjang. Aku ingin merapikannya. Sebenarnya aku tidak ingin memotong rambutku, tetapi panjang rambutku sudah cukup mengganggu.
Mobil yang kukendarai akhirnya sampai di tempat cukur. Mobil kuparkir secara pararel lalu aku keluar dari mobil, menguncinya, dan berjalan menuju pintu masuk. Aku membuka pintunya dan melihat sosok orang tua yang sedang mencukur rambut salah seorang pelanggan. Aku duduk di kursi tunggu, menunggunya selesai mencukur rambut pelanggan yang sedang dia cukur.
Setelah selesai dengan pelanggan sebelumnya, kini giliranku. Dia memakaikanku handuk di leher belakangku kemudian memasang kain penutup cukur rambut menutupi tubuhku.
“Rapiin aja, Sep?” tanyanya.
“Nuhun, Mang,” jawabku padanya.
Dia mulai mencukur rambutku sampai rambutku terlihat rapi dan klimis. Saat selesai, aku melihat gaya rambutku sekarang lebih mirip dengan gaya rambut Ludwig. Melihat bayanganku di cermin yang mirip dengannya membuatku tertegun dan merasakan suram. Aku menarik napas dalam-dalam dan menganggukkan kepalaku padanya, memberitahukannya bahwa aku sudah puas dengan hasil pekerjaannya.
Dia membuka kain penutup cukur rambut dari tubuhku, mengibaskannya, dan melepas handuk kecil yang dililitkan di belakang leherku, mengibaskannya di leherku, lalu mengusap wajahku dengan handuk wajah yang telah dibasuh dengan air hangat.
Aku berdiri setelah dia selesai melakukannya lalu memberinya sejumlah uang sesuai dengan harga yang berlaku. Dia menatapku sejenak lalu memberikan senyumannya.
“Manawi teh anjeun tos ngalih bumina,[1]” ujarnya.
“Henteu, Mang, masih didieu da,[2]” jawabku.
“Abi langki ningali kembaran anjeun, anjeunna di mana tinggalna?[3]”
“Anjeunna tos pupus, Mang,[4]”