Berita mengenai Kak Lodewijk yang dijebak oleh kepolisian yang disampaikan oleh Kak Tantri bagaikan kilat yang menyambar di siang hari bagiku. Ini belum termasuk berita dari media massa cetak, elektronik, dan online yang memberitakan pernyataan dari kepolisian yang mengatakan bahwa apa yang menimpa Kak Lodewijk adalah murni kecelakaan akibat baku tembak dengan dua pengendara motor bersenjata. Berita lain yang lebih buruk adalah tuduhan kepolisian terhadap Geng Motor Jalan Darah sebagai organisasi yang menjadi pelaku penembakan Kak Lodewijk. Ini karena ada dua mayat pengendara sepeda motor yang memiliki senjata api tergeletak di jalan tempat terjadinya baku tembak antara Kak Lodewijk dengan mereka.
Keesokan harinya setelah kunjungan Kak Tantri, aku—Sofia, bersama Tuan Wisnu dengan pengawalan ketat kepolisian mengunjungi rumah sakit tempat Kak Lodewijk dirawat. Sesampainya di sana, seperti biasa, banyak wartawan menunggu di depan rumah sakit. Aku tidak menghiraukan mereka karena aku hanya ingin berbicara dengan Kak Lodewijk dan ingin mengetahui mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sepertinya aku tidak dapat melakukan itu karena rupanya permintaanku semalam—agar kamar Kak Lodewijk disediakan waktu luang supaya aku dapat berbicara empat mata dengannya, tidak dikabulkan.
Saat aku datang, seorang penjaga di depan pintu kamarnya mengatakan bahwa aku hanya punya durasi 15 menit untuk mengunjunginya. Di kamarnya terdapat seorang penjaga yang mengawasi gerak-gerikku dan Tuan Wisnu. Aku tidak mungkin mengamuk di sini atas keinginanku yang tidak dikabulkan karena terdapat banyak saksi mata di sini yang dapat melihat amukanku dan melaporkannya ke awak media yang menunggu di depan rumah sakit. Aku benar-benar ingin mengamuk jika aku bisa. Namun, sebagai figur publik yang menjadi panutan banyak orang, aku harus berkelakuan baik dan tidak mencemari nama baik keluarga kerajaan. Aku benar-benar benci menjadi seorang bangsawan yang tidak punya kedaulatan atas diriku sendiri.