Sudah beberapa hari aku—Lodewijk, terjebak di sini, terbaring di atas kasur di sebuah kamar pasien di tempat yang bernama rumah sakit. Saat Sofia datang, aku ingin meminta tolong padanya untuk segera mencari pengacara pengganti yang dapat menggantikanku. Kalau dia tidak segera melakukannya, ada kemungkinan seseorang yang menggantikanku adalah seorang pengacara yang dipilih oleh pengadilan. Itu akan memperburuk posisi Karim dalam kasus ini karena orang-orang yang ada di pengadilan juga telah disuap agar mereka mau menjadikan Karim sebagai tersangka dan menjebloskan Karim ke dalam penjara sebagai kriminal.
Sialnya, aku tidak dapat mengatakan itu saat dia menjengukku karena ada dua personel polisi kotor yang mengawasi kamar tempatku dirawat. Ditambah lagi, sekujur tubuh dan kepalaku juga dibungkus dengan perban. Hal itu sebenarnya hanyalah akal-akalan mereka untuk memperlihatkan kepada publik seolah-olah kecelakaanku adalah sesuatu yang parah, padahal alasan kepalaku diperban supaya aku tidak dapat mengatakan apa pun. Belum termasuk selang infusku yang disuntik dengan senyawa bius yang membuatku lemas.
Beberapa malam sekali, salah satu dari Breivik bersaudari selalu membawaku ke ruangan penyiksaan itu lagi. Mereka menyuntikkan senyawa kimia yang membuatku tidak dapat tidur. Aku diangkat dari kasur dan diletakkan di kursi interogasi. Perban yang membungkus tubuhku dibuka lalu mereka menyengat tubuhku sampai jantungku berdebar-debar dan memerkosaku bergilir.
Aku diperlakukan dan dipermainkan oleh mereka layaknya seorang anak kecil memainkan boneka yang dia miliki sesuka hatinya. Bagian tubuhku yang patah membuat gerakanku terbatas. Aku tidak dapat melakukan apa pun untuk melawan apa yang mereka lakukan.
Setiap kali mereka akan memerkosaku, Gertrud selalu merayuku dengan kata-katanya yang terdengar memikat dan menggoda. Dia membujukku agar aku menikmatinya, tetapi aku tidak ingin menikmati ini. Disuntik dengan senyawa kimia yang membuatmu terbangun sepanjang malam, disengat oleh listrik yang membuat sekujur tubuhmu kejang-kejang sampai jantungmu berdebar-debar, dan diperkosa bergilir adalah suatu penyiksaan, bukan kenikmatan.
Aku tidak tahu apakah malam ini salah satu dari mereka akan mendatangiku atau tidak. Namun, perasaan gelisah menunggu kedatangan salah satu dari mereka yang akan membawaku ke ruangan itu lagi bagaikan menunggu hantu yang siap menerkammu dari bawah kasurmu atau dari jendela kamarmu saat kamu belajar untuk tidur sendirian kala kamu masih kecil.
Setiap detik berubah menjadi hitungan menit dan hitungan menit berubah menjadi hitungan jam. Keringat dingin serasa keluar bercucuran di tubuhku hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang wanita muda berambut pirang agak keputihan memakai pakaian suster berjalan menghampiriku sambil menunjukkan senyumnya yang licik nan dingin. Ah, sial!
Dia berdiri di sampingku kemudian menyuntikkan sesuatu di selang cairan infusku. Kantuk berat menyerangku, mataku sayu, dan perlahan aku tertidur.
Saat mataku terbuka, aku sudah dalam posisi duduk di kursi lalu mereka melakukan itu lagi. Mereka menyuntikku dengan senyawa yang membuat jantungku berdebar-debar dan mataku terbuka lebar. Setelah itu mereka menanggalkan pakaian mereka satu persatu. Setiap kali memejamkan mata, aku disengat. Aku berusaha melawan rasa sakitnya. Jantungku makin berdebar kencang kemudian tiba-tiba mataku sayu. Aku tidak dapat mengembuskan napasku lagi. Rasanya sangat sesak. Ah, semuanya terasa berbayang, kegelapan perlahan mengitariku. Apakah sudah saatnya aku pergi dari dunia ini?
Aku merasa angin sejuk menerpa tubuhku dan bagian belakang tubuh serta kepalaku seperti sedang berada di atas rumput. Mataku yang tertutup menampilkan warna merah gelap. Perlahan, aku membuka mataku lalu aku melihat sosoknya. Dia … ini tidak mungkin, mustahil! Dia?
“Asalamualaikum,” sapanya.
Aku melihat wajahnya tertunduk menatapku yang sedang terbaring di atas rumput. Raut wajahnya menampilkan sedikit simpul senyuman kecil padaku. Dia tidak pernah tersenyum padaku. Melihatnya tersenyum padaku walau tipis membuatku merasa aneh. Aku tidak terbiasa melihat wajahnya tersenyum, sekalipun aku tahu pasti bagaimana raut wajahnya jika dia menampilkan senyumannya.
“Mein bruder, warum antwortest du nicht?[1]” tanyanya.
“Dit kan toch niet echt zijn?[2]” Aku masih tidak percaya dia sedang berdiri menatapku sekarang.
“Das kommt darauf an, wie du die Dinge siehst,[3]” jawabnya.
“Heh, oké, het zal wel.[4] Wa’alaikumussalaam,” balasku sambil tersenyum kepadanya.
“Wie lange wirst auf dem Boden liegen bleiben?[5]”
“Geen idee, misschien zolang als mogelijk.[6]”
“Du bist so faul wie immer.[7]” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, masih terheran-heran mengenai sifatku yang seperti ini walau dia selalu mengetahuinya sejak kami masih kecil hingga dewasa.
“Heh, je kent mij Ludwig,[8]” jawabku.
“Komm schon Lodewijk, los hoch,[9]” ujarnya, memintaku bangun dari tempatku berbaring.
“Ik ben veel te moe om te gaan vechten Ludwig,
soms wens ik dat ik dood was zoals jou,[10]” jawabku sambil memejamkan mata, berusaha menahan air mataku.
“Und wenn du sterben wirst?[11]” tanyanya. Aku terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaannya.