Semua indraku mati kecuali indra pendengaran. Aku tidak tahu apakah aku sedang tertidur atau terjaga. Adakalanya aku merasa khawatir akan apa yang sedang terjadi di sekitar, karena aku tidak tahu bahaya apa yang mengancam. Namun, dalam beberapa waktu tertentu, aku selalu mendengar suara seorang gadis berbisik di telingaku. Suaranya tidak terdengar sinis, mengancam, atau menggoda, tetapi lembut penuh dengan kasih sayang. Aku merasa pernah mendengar suara gadis ini, tapi di mana?
Aku selalu menantikan kedatangan gadis itu. Mendengar suaranya yang lembut membuatku merasa aman. Aku penasaran dengan rupa wajahnya. Seandainya saja aku bisa membuka kedua mataku. Mungkin suatu hari nanti.
Aku mendengar suara pintu kamarku terbuka dan kemudian tertutup. Terdengar suara roda berputar di atas lantai lalu suara gadis itu kembali terdengar di telingaku.
“Lodewijk, ini aku—Riri. Kalau kamu seneng aku dateng, tolong kasih aku tanda, percepat detak jantungmu!”
Aku mendengar bunyi indikator detak jantung monitor LCD menjadi lebih cepat dari sebelumnya.
“Aku enggak tau kapan kamu bakal bangun atau apa kamu bakal inget aku atau enggak, tapi cuma ini yang bisa aku lakuin buat sekarang,” ujarnya. “Sampe kamu bisa keluar dari sini, aku bakal terus ngerawat kamu. Maaf kalau kurang, tapi aku harap apa yang aku lakuin ini cukup sebagai bayaran buat kebaikanmu yang udah ngebela aku dan ayahku waktu tanah sama rumah kami hampir digusur. Makasih banyak buat kebaikanmu, Lodewijk.”
Aku tidak ingat kasus mana yang dia maksud. Mungkin karena banyak kasus yang sudah kutangani, jadi aku tidak dapat mengingatnya atau mungkin karena otakku sedang memutar sebuah ingatan. Ah, entahlah, aku sendiri juga tidak tahu, apakah yang kudengar ini mimpi atau nyata. Namun, jika nyata aku harap diriku bisa segera tahu siapa orang yang bernama Riri ini.
“Aku izin pamit, ya. Besok kita bakal ketemu lagi. Selama aku enggak ada, aku punya satu permintaan ke kamu. Tolong bertahan dan sabar, aku bakal berdoa juga setiap hari supaya penderitaanmu segera berakhir dan berubah menjadi kebahagiaan,” ujarnya
Aku mendengar suara langkah kaki beserta roda bergulir, suara pintu terbuka dan tertutup, kemudian hening. Tidak ada suara apa pun selain suara indikator detak jantung dari monitor LCD yang mengisi keheningan di sekitarku.
Sebatang kara lagi. Aku baru menyadari hal itu. Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanku. Kedua orang tuaku sudah tiada, beberapa teman meninggalkanku menuju alam lain, kakakku juga menyusul mereka.
Ah, hidup ini aneh. Beberapa orang memang ditakdirkan untuk singgah sebentar dalam hidup kita. Beberapa lainnya ditakdirkan untuk menemani kita sampai waktunya tiba untuk dipanggil dan meninggalkan mereka terlebih dahulu.
Banyak orang yang ingin berumur panjang dan dipanggil belakangan. Namun bagiku, entah dipanggil terlebih dahulu atau belakangan, keduanya sama-sama baik. Jika aku dipanggil terlebih dahulu, setidaknya aku bisa bertemu dengan kedua teman dan kakakku. Sebaliknya, jika aku dipanggil belakangan, setidaknya aku masih bisa melakukan hal yang ingin kulakukan.
Menemukan seseorang untuk dicintai, menikah, punya anak, ah—rasanya masih sangat lama sampai hal itu dapat terjadi. Ya, pastinya kesukaran dan kesedihan akan tetap terjadi, tetapi selalu ada jalan keluar walaupun harus bersakit-sakit dahulu dan menunggu. Sama seperti akhir dari hubunganku denganmu, Ludwig. Iya, kan, Broeder?
A flock of birds