Antara Darah dan Hati 2: Dream Reality Seri 3

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #8

Chapter 2 Bagian 3 De terugkeer van de strijder van de wet

Aku Lodewijk—pada akhirnya terbangun dari koma yang selama ini aku alami. Selama tertidur dalam koma, aku mendengar suara kedua orang itu. Mereka berdua datang setiap hari mengunjungi, berbincang denganku yang tak dapat menjawab pertanyaan mereka sama sekali sebagai usaha yang terakhir untuk membantuku segera pulih dari koma.

Saat membuka kedua mata, aku melihat mereka berdua tersenyum lebar dan menitikkan air mata dari sudut mata mereka. Riri sang perawat yang pernah aku bela haknya di masa lalu, saat tanah perkebunan yang menjadi milik keluarganya hampir direbut secara tidak sah oleh salah satu perusahaan besar di kota ini dan Tantri, seorang polisi wanita yang gigih dalam menepati janjinya bahkan hingga kini saat aku sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa, Tantri berada di sisiku dan menjagaku setiap hari setelah mengetahui bahwa aku tidak punya anggota keluarga lain yang dapat menjagaku, dikarenakan mereka semua sudah tiada.

Setiap kali suster rumah sakit membawa nampan berisi makanan ke kamarku, Tantri selalu menyuapi karena kedua tangan, paha, betis, dan kakiku masih diperban akibat patah tulang yang masih belum sembuh. Aku heran kenapa Tantri merawatku sampai sejauh ini, dia tidak harus melakukannya jika dia mau. Tetapi dia melakukannya tanpa pernah keluar permintaan balasan untuk semua hal yang telah ia lakukan untukku. Hingga suatu hari, saat ia sedang duduk di sebelah kasur menonton berita di televisi—aku menanyakan alasan ia merawatku sampai sejauh ini.

“Tantri, aku mau nanya sesuatu boleh?”

“Iya, kenapa?” tanyanya.

“Kenapa kamu ngelakuin ini semua? Nginep di kamar ini buat jagain aku dan suapin setiap kali suster bawain makanan? Maksudku, aku tau—aku udah tinggal satu-satunya orang di keluargaku yang masih hidup, tapi menurutku kamu enggak harus ngasih perhatianmu ke aku sampe sejauh ini,” ujarku padanya kemudian senyum tipis muncul di sudut bibirnya dan ia memberikan jawaban.

“Aku udah janji sama Hare Hoogheid Sofia, kalau aku bakal nyelametin kamu waktu diculik dan mastiin kamu baik-baik aja. Jadi aku harus menuhin janjiku,” ujar Tantri, jawaban itu membuatku turut tersenyum kecil. Ia pun bertanya padaku mengenai alasan kenapa muncul senyuman tipis dari bibir ini.

“Kenapa kamu senyum? Ada yang lucu ya, sama jawabannya?” tanyanya padaku.

“Enggak, cuman jawabanmu—ngebuat aku inget sama salah satu alasanku berjuang sampe sejauh ini, buat nyelesain kasus klienku,” ujarku padanya memberikan jawaban.

Kemudian ia bertanya kembali kepadaku. “Apa alasannya, kalau aku boleh tau?”

“Alasannya, aku punya temen—nama mereka Ilhan dan Chandra, mereka pengacara sama kayak aku. Tapi mereka berdua mati dibunuh. Di makam mereka, aku kasih janji, kalau aku bakal nyelesain kasus yang mereka tanganin. Sebab mereka mati akibat aku yang enggan ngelawan kembaranku sendiri. Waktu itu, aku bener-bener males lawan mendiang kembaranku karena enggak mau ribut sama dia. Mungkin bisa dibilang, kalau aku waktu itu terlalu sayang sama kembaranku, sampai aku lupa kalau dia waktu itu udah nyaman kerja buat kubu sana.” jawabku.

“Ya, mendiang ayahkku pernah cerita kalau mendiang kembaranmu kerja jadi jaksa penuntut umum, tapi aku baru tau kalau dia bener-bener mihak kubu musuh kita,” ujarnya, kemudian kembali bertanya. “Kenapa mendiang kembaranmu rela kerja di kubu musuh? Apa kamu tau alasannya?”

Lihat selengkapnya