Aku Lodewijk—setelah istirahat selama satu hari di kediaman Hare Hoogheid Sofia, saatnya aku datang ke gedung pengadilan Kota Sucilangkung dengan diantar oleh Tuan Wisnu untuk memastikan keamananku. Saat sampai, aku mengucapkan Basmallah kemudian turun dari mobil yang Tuan Wisnu kendarai. Para wartawan sudah menunggu di depan gedung pengadilan, aku berusaha mengacuhkan mereka, namun dua pertanyaan membuatku tertegun dan membalikkan sedikit tubuh.
“Pak Lodewijk apakah Anda sudah menemukan bukti baru dalam kasus yang menimpa klien Anda?” tanya seorang wartawan.
“Apakah Anda memiliki saksi baru yang dapat memberikan kesaksian untuk membantu Anda dalam membela klien Anda?” tanya wartawan lainnya.
Aku menarik napas kemudian memberikan jawabanku, “semua bukti yang penting sebenarnya sudah dipaparkan di persidangan sebelumnya. Namun saya tidak tahu kenapa para Hakim masih ingin melanjutkan persidangan ini, yang saya ingat adalah di persidangan sebelumnya para Hakim berkata bahwa mereka akan mempertimbangkan barang bukti yang sudah diberikan dan dipaparkan penjelasannya kepada mereka.—
—Saya tidak mengetahui secara pasti apa hasil putusan para Hakim nanti, tapi satu hal yang saya yakini—sekalipun semua barang bukti yang telah saya paparkan ditolak, saya akan terus memperjuangkan terbebasnya klien saya karena adalah sebuah fakta yang tak dapat dibantah. Bahwa klien saya tidak bersalah! Jika kalian ingin bukti mengenai fakta tersebut, silahkan cari video di situs YouTube saat Yang Mulia Tuan Putri Sofia membentak para Hakim karena hampir menolak kesaksiannya di persidangan sebelumnya,” ujarku pada mereka memberikan jawaban.
Aku melanjutkan langkah masuk ke dalam gedung pengadilan dan terus berjalan. Hingga sebelum memasuki ruangan sidang, ternyata ada seorang pria berdiri di depan pintu masuk ruang sidang dan menyapa.
“Selamat pagi Pak Lodewijk Engels.”
“Selamat pagi,” ujarku membalas sapaannya.
“Izinkan saya memperkenalkan diri, saya jaksa penuntut umum yang baru, saya Sulaksono Masiku, salam kenal,” ujarnya.
“Salam kenal,” balasku.
“Saya ingin menawari anda sesuatu, bisa kita bicara mengenai tawaran ini sejenak?” tanyanya.
“Silakan dilanjut,” pintaku.
“Saya nanti akan meminta klien Anda untuk bersaksi, bisakah Anda meminta klien Anda untuk menjawab ‘iya’ terhadap semua pertanyaan saya nanti? Jika Anda bisa melakukannya, klien saya Heer Vinno Diederik de Graeff akan membayar klien Anda sebesar seratus tiga puluh juta Guilder dan masa tahanan terdakwa yang bernama Karim juga akan dipotong hanya selama satu tahun. Bagaimana?” tanyanya padaku.
Aku benar-benar muak dengan semua ini, mendiang Ilhan dan Chandra pasti ditawari hal serupa, tapi Karim menolaknya. Bagaimana aku tahu dia menolak tawaran seperti itu? Kalau dia tidak menolak pasti kasus ini tidak akan pernah ada sama sekali. Aku sebenarnya benci hal seperti ini, tapi mau tidak mau aku harus menanyakan ini terlebih dahulu pada klienku.
“Baiklah, akan saya tanyakan,” jawabku.
“Sebaiknya Anda segera tanyakan dan kalau dia nolak, sesuatu yang lebih mengerikan bakal nimpa dia. Bukan cuman dia, Anda dan teman-teman juga bakal ngalamin hal yang sama,” ujarnya dengan nada sinis mengancam.
Aku mengangguk kemudian berbalik dan berjalan pergi menuju ruangan tempat Karim di tahan. Ia sedang duduk di kursi tunggu dengan kedua tangan yang diborgol—ditaruh di atas meja. Kemudian aku menarik kursi dan duduk menghadapnya. Ia terlihat pasrah, tapi aura yang dia tunjukan bukan pasrah menyerah melainkan pasrah dan tenang.
“Kang Karim?” panggilku.
“Ya, Pak Lodewijk?” jawabnya.
“Kamu udah siap buat sidang hari ini?”
“Iya, udah kok,” jawabnya.
“Huuft….” Aku menghembuskan napas kemudian berusaha mempersiapkan diri untuk mengatakan tawarannya.
“Ada apa Pak Lodewijk?” tanyanya.
“Ada tawaran, kalau kamu nanti ngejawab ‘iya’ buat semua hal yang ditanyain sama jaksa penuntut umum dan kamu diputuskan bersalah, masa kurunganmu bakal dipotong selama satu tahun dan kamu bakal dapet seratus tiga puluh juta Guilder. Tapi kalau kamu nolak, sesuatu yang buruk bakalan nimpa orang-orang terdekatmu. Bukan cuman kamu aja, saya juga bakal ngalamin nasib yang sama,” ujarku padanya menyampaikan tawaran tersebut.
Setelah aku menyampaikan itu, aku melihat ia tertunduk—hening mengisi seluruh ruangan untuk beberapa menit yang terasa sangat lama dan menyiksa. Aku paham kenapa dia tidak langsung memberikan jawabannya. Ia bukan hanya memikirkan nasib dirinya sendiri, tapi juga memikirkan bagaimana nasib teman-teman dan keluarganya nanti. Aku sebenarnya tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi padaku nanti. Kalau nasib buruk yang menimpaku menyebabkan aku mati, setidaknya aku bisa menyusul kembaranku. Sedangkan Karim, dia masih punya keluarga dan teman-temannya di dunia ini.
Aku tidak tahu berapa lama ia tertunduk, tetapi pada akhirnya ia menengadahkan kepala, menatapku kemudian membuka mulutnya dan memberikan jawaban.
“Siapa pun yang ngasih saya tawaran itu, bilang ke dia saya nolak tawarannya.”
“Kenapa kamu nolak?” tanyaku padanya.
“Kalau saya dipenjara dan bebas nanti, akan banyak hal buruk bakal menimpa, karena saya bakal dicap sebagai kriminal. Kalau saya bebas, juga banyak hal buruk bakal menimpa saya dan ya, memang ironis kesannya karena entah saya bebas atau dipenjara hal buruk bakal tetep menghampiri saya. Saya tau kalau nerima tawaran itu, seenggaknya saya bisa dapet uang dalam jumlah banyak. Tapi apa itu cukup untuk ngebayar semua penderitaan yang temen-temen dan keluarga saya harus laluin demi tercapainya kebebasan saya?—
—Mereka semua termasuk bapak, udah berjuang sejauh ini. Kalau saya nerima tawaran seseorang yang jadi musuh kita buat keuntungan saya pribadi, lalu apa bedanya saya sama penjahat? Itu sama aja dengan saya mengkhianati perjuangan mereka yang udah mau bantu saya selama ini dan saya bakal dikenang di dalem kisah hidup mereka, sebagai orang yang paling jahat yang pernah ada. Iya ‘kan?” ujarnya memberikan jawaban.
Mendengar jawaban itu, membuat bibirku mulai membentuk senyuman kecil, menanggapi jawabannya dengan anggukan.
Kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “baik bebas atau dipenjara, nasib buruk bakal selalu ngintai saya dan selalu siap buat nimpa saya. Tapi seenggaknya, kalau saya bebas—saya bisa ngehadepin ancaman yang musuh kasih ke temen-temen dan keluarga saya bareng mereka. Lagipula saya seorang muslim, ancaman apa pun yang musuh kasih, enggak bakal membahayakan saya selama Allah enggak menghendaki bahaya tersebut nimpa saya.”