Pagi pukul setengah tujuh, aku Muhamed—turun dari kereta pergi menuju Kota Bandung. Kemudian di Stasiun Bandung menunggu kedatangan kereta dalam kota yang mengarah ke Stasiun Cikudapateuh selama sekitar empat puluh lima menit. Stasiun tersebut berada cukup dekat dengan Jalan Jenderal Ahmad Yani yang merupakan ruas jalan utama, dapat kugunakan untuk pergi menuju Gedung Pengadilan Tinggi yang berada tepat di belakang Gedung Regionaal Volksraad Kota Bandung.
Saat kereta menuju Stasiun Cikudapateuh tiba, aku masuk ke dalam bersama dengan penumpang lain yang membawa peralatan demonstrasi seperti payung. Di antara mereka ada yang memakai masker dan bahkan kacamata hitam untuk menyembunyikan identitasnya. Ya, sama seperti Kota Sucilangkung, demonstrasi juga dilakukan oleh sebagian besar rakyat Kota Bandung yang sudah muak dengan Partai Neo-NSB, beserta kebijakan-kebijakan buatan mereka yang menindas Rakyat RIS.
Berdasarkan berita yang aku baca, demo hari ini diperkirakan akan berlangsung pada pukul setengah sembilan pagi, dan benar saja—sesekali saat aku melihat suasana jalanan dari jendela kereta, terlihat banyak mobil berjejeran berjalan lambat karena terjadi kemacetan.
Saat turun dari kereta di Stasiun Cikudapateuh, aku mencoba melihat google maps untuk memeriksa jalan mana saja yang diblokade. Setelah aku periksa, Jalan Jenderal Ahmad Yani yang merupakan jalan utama—yang dapat dilalui untuk menuju gedung Pengadilan Tinggi diblokade. Demikian pula Jalan Surapati yang merupakan jalan alternatif ke Gedung Pengadilan Tinggi melalui Gedung Sate dan Museum Geologi Bandung, juga ditutup. Tidak ada cara lain, kalau tak bisa melalui jalan utama karena diblokade, maka aku akan mencoba mencari jalan tikus sekalipun harus melewati gang sempit, za mog brata[1].
Aku memasang roda roller blade di kedua sepatuku, memakai tas ransel yang berisi dokumen bukti kegiatan penerimaan uang suap yang dilakukan oleh para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum di bagian depan tubuhku. Membaca basmalah, lalu menggerakkan kedua kaki—meluncur keluar dari area stasiun menuju Jalan Surapati. Sesampainya di perbatasan menuju Jalan Surapati, aku dapat melihat kendaraan yang berbaris dan berjalan lambat diarahkan oleh para polisi yang sedang memasang blokade untuk pergi melalui jalan lain. Tidak peduli dengan itu, aku mencari jalan masuk menuju celah-celah gedung dan gang sempit, berusaha tetap dekat dengan Jalan Surapati.
Terkadang aku salah mengambil jalan sehingga harus memutar, merasa tersesat hingga sesekali aku harus mencari tempat sembunyi yang aman untuk sejenak waktu dan melihat posisiku ada di mana di google maps sebelum melanjutkan perjalanan. Sialnya adalah—sekarang sudah pukul delapan lewat lima belas menit, tersisa waktu lima belas menit lagi sebelum demonstrasi dimulai. Aku bahkan belum setengah jalan sampai ke Gedung Pengadilan Tinggi, sehingga berhenti sejenak dan mencari celah-celah gedung untuk bersembunyi.
Dari kejauhan, mulai terdengar suara sorak-sorai massa yang berjalan bersama melalui jalan-jalan kecil yang tidak diblokade, untuk bisa sampai ke Gedung Regionale Volksraad[2]. Aku tidak ingin berjalan bersama rombongan mereka sekalipun tujuan searah, karena aku tidak ingin berada ditengah-tengah mereka disaat terjadi kericuhan dengan Aparat Schutterij. Benar saja—setelah sekitar setengah jam, aku yang masih berusaha mencari jalan yang benar untuk sampai ke Gedung Pengadilan Tinggi, tiba-tiba mendengar suara teriakan dan letusan senapan pelontar gas air mata.
Dari celah-celah gedung tempat aku bersembunyi, terlihat para Aparat Schutterij bentrok dengan massa yang tidak ingin mundur dari posisinya. Melihat ini membuatku tidak ingin keluar dari tempat persembunyian karena tidak ingin ditangkap. Aku harus menyerahkan dokumen yang berada di dalam ransel yang mana—dokumen tersebut berisi bukti kegiatan penerimaan uang suap dalam bentuk Bitcoin yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan para Hakim yang mengadili Karim dalam sidang kasus yang menimpanya.
Aku jadi ingat, sebelum semua ini terjadi, sepatu yang dipasangi roda roller blade ini digunakan bersama Karim untuk kabur dari anjing-anjing yang berada di sekitar jalan pintas menuju kampus. Aku sangat benci melalui jalan pintas itu, karena ada anjing-anjing yang berjaga, tetapi Karim bersamaku melakukan trik yang disebutkan di dalam video game Wolfenstein ‘hitung sampai empat—hirup, hitung sampai empat—hembuskan.’.
Aku melakukan hal tersebut kemudian mencoba melihat google maps sejenak untuk mengetahui aku sudah berada di mana. Aku memberanikan diri untuk keluar dari tempat persembunyian. Tidak ada polisi sama sekali, aku menggunakan kesempatan ini untuk meluncur secepat yang aku bisa dan terus berusaha mencari jalan yang tepat untuk sampai menuju Gedung Pengadilan Tinggi. Entah berapa banyak waktu yang sudah terhabiskan, aku tidak tahu. Aku merasa seperti berada di dalam labirin yang tak berujung. Sesekali saat melihat siluet Pasukan Schutterij mengejar demonstran, aku langsung mencari tempat sembunyi dan memeriksa google maps untuk mengetahui sudah berada di mana.
Rasa cemas dan takut yang mengisi hatiku, membuatku merasa pusing dan mual. Dadaku terasa sesak saat membayangkan apa yang akan terjadi padaku nanti jikalau tertangkap dan bagaimana nasib dokumen yang berada di dalam tasku ini?
Heheh, rasa takut. Aku benci masih memiliki rasa itu! Kenapa aku masih merasa takut, padahal pernah menghadapi hal yang lebih sulit daripada ini? Baiklah, persetan dengan para Aparat Schutterij itu! Jika aku tertangkap, biarlah itu terjadi dan selama menunggu apa yang ditakutkan terjadi—aku harus menyelesaikan jalan cerita yang sudah ditetapkan untukku.
Aku keluar dari tempat persembunyian dan kembali meluncur melewati celah-celah bangunan, serta jalanan yang sepi dari lalu lalang Aparat Schutterij. Sesekali aku kembali mencari tempat persembunyian, untuk mengetahui di mana aku berada. Pada akhirnya setelah entah untuk waktu berapa lama—terus melakukan hal yang sama, terlihat posisiku di Google Maps sudah sangat dekat dengan Gedung Pengadilan Tinggi, kira-kira jaraknya sekitar seperempat dari tempat aku berada.
Aku kembali meluncur melalui gang sempit dan jalanan sepi, hingga tiba-tiba mendengar suara seseorang berteriak.
“Kamu yang di sana, ngapain kamu? Berhenti!”
Aku yang mendengar itu dengan sekejap berusaha makin meningkatkan kecepatan roda roller blade sepatu. Namun semakin banyak pula suara yang aku dengar dari belakang berteriak memerintahkanku untuk berhenti.