Antara Darah dan Hati 2: Dream Reality Seri 3

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #14

Chapter 3 Bagian 4 Pendarahan di Hotel Prodeo

Jadi seperti ini ya, kisah hidup yang telah dituliskan untukku? Yah, jika ini memang yang terbaik maka aku, Karim—harus bisa menerima kenyataannya. Sekeras apa pun teman-temanku berusaha, mereka hanyalah sekumpulan manusia yang tidak punya kendali atas apa yang terjadi di luar kehendak mereka. Yah, jika dipenjara, membuatku lebih aman daripada di luar sana seperti yang terjadi pada Nabi Yusuf, maka aku harus mencoba mensyukurinya.

Satu hal yang tak pernah terkira akan terjadi dalam hidupku adalah, aku akan menghabiskan waktu yang lama di dalam sebuah tempat yang bernama sel penjara. Di dalam sel ini hanya ada sebuah kasur, toilet, dan sebuah jendela berukuran sangat kecil—menjadi tempat sebaris cahaya dapat masuk untuk menerangi sel tahanan ini pada siang hari.

Di dalam sel tahanan tidak ada jam untuk menandakan berapa lama waktu sudah berlalu, tidak pula teman maupun hiburan, hanya ada rasa kesepian yang menyelimuti sanubari. Aku memang tidak bisa merasakan rasa makanan, panas—dingin, ataupun rasa sakit. Tapi aku dapat merasakan itu—kesepian.

Jika kalian bertanya padaku bagaimana seseorang yang mengidap kelainan Congenital Analgesia bisa merasakan rasa kesepian, jawaban yang bisa kuberikan adalah karena aku memiliki orang-orang yang bisa membuatku merasa aman dan tenteram. Orang-orang yang aku sebut sebagai keluarga dan teman, kehadiran mereka membuat hidupku yang hambar menjadi sedikit lebih baik melalui suara mereka yang dapat aku dengar—setiap kali berbicara serta bersenda gurau dengan mereka.

Sebenarnya aku bisa saja mencoba berteman dengan seseorang di dalam penjara, setiap kali aku diminta keluar oleh Sipir—untuk mengikuti kegiatan pembinaan masyarakat ataupun melakukan tugas harian sebagai tahanan di dalam penjara, seperti membersihkan toilet. Hanya saja, aku merasa tidak ada dari mereka yang mengerti bagaimana rasanya tidak dapat merasakan apa pun.

Terkadang saat melewati wilayah tertentu, orang-orang yang berkumpul di wilayah itu menatapku dengan tatapan penuh amarah. Ah ya, aku ingat di dalam penjara biasanya ada anggota geng jalanan yang ditahan. Kemudian—yang berada dalam satu geng berkumpul dan menjadikan suatu tempat sebagai tempat bagi kalangan mereka untuk berkumpul. Untungnya setiap kali para tahanan mengerjakan tugas mereka di berbagai tempat di penjara, seorang Sipir selalu mengawasi sehingga tahanan tersebut aman dari kekerasan tahanan lainnya, setidaknya selama sang Sipir mengawasi.

Ia yang kerap kali menemaniku pernah memberikan Klappertaart pada hari-hari aku menjadi terdakwa. Setiap kali giliranku tiba untuk mengerjakan tugas tahanan; dia selalu menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku merasa sakit atau kesal padanya, dan dia selalu meminta maaf setiap kali aku harus masuk kembali ke dalam sel tahanan. Ia meminta maaf karena ia takut memperlakukanku dengan buruk.

Ia mengetahui bahwa sebenarnya aku dan banyak tahanan di sini bukanlah kriminal, tetapi orang-orang yang dipaksa untuk mengikuti kemauan sistem hukum yang berlaku. Mungkin dia merasa bersalah bekerja menjadi kaki tangan sistem yang rusak ini, tapi sejujurnya aku bersyukur ada orang-orang seperti dia. Setidaknya dengan adanya orang seperti dia, hari-hari di sini menjadi sedikit lebih baik.

Hari berganti, pagi telah tiba. Sipir membangunkanku dari tidur, kemudian memintaku untuk mengikuti jadwal latihan fisik hari ini bersama tahanan lainnya di lapangan. Saat keluar dari sel, sembari berjalan menuju tempat yang dituju, ia menyapa dan menanyakan kabarku sama seperti yang sudah terjadi pada hari-hari sebelumnya.

“Karim, gimana keadaanmu hari ini?”

“Baik, Pak,” jawabku padanya.

Lihat selengkapnya