Aku Sofia—hari ini merasa senang, karena dua hari yang lalu mendapat kabar dari Kak Muhamed bahwa ia berhasil menyerahkan berkas bukti tindak kriminal penerimaan uang suap yang telah dilakukan oleh para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang mengadili Meneer Karim dalam kasusnya. Namun kabar baik itu disertai oleh kabar buruk. Lengannya terkena muntahan timah panas, sehingga ia harus mendapat perawatan di rumah sakit.
Ia memberitahuku bahwa aku tidak perlu mengkhawatirkan nasibnya, karena ia masih hidup dan hanya lengannya yang terluka. Dia juga mengatakan bahwa dia takkan lama dirawat di sana, paling lama seminggu dan dia sudah bisa kembali pulang. Kendati begitu, tetap saja aku merasa bersalah karena telah membuatnya hampir kehilangan nyawanya—lagi untuk kesekian kalinya. Namun ia berusaha menghiburku dengan mengatakan bahwa aku harus bersyukur karena doa kami akan terkabul dan Meneer Karim akan segera terbebas dari balik jeruji besi. Sebab berkas bukti penerimaan uang suap yang diterima oleh para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum dalam bentuk bitcoin sudah diterima dan diproses oleh Pengadilan Tinggi. Ia juga mengingatkanku mengenai Kak Lodewijk yang sudah melaporkan kegiatan penerimaan uang suap yang dilakukan oleh mereka kepada Fiscale inlichtingen- en opsporingsdienst dan Team Criminele Inlichtingen melalui layanan website dan telepon milik mereka, sejak hari ke delapan sebelum batas waktu untuk mengajukan upaya Banding Hukum kasus Karim habis.
Untuk berjaga-jaga, aku memberitahukan Paman Yang Mulia Raja Belanda melalui telepon mengenai segala usaha yang sudah kami lakukan, serta menyerahkan berkas file yang berisi bukti tindakan kriminal yang dilakukan oleh para Hakim dan Jaksa Penuntut Umum melalui email. Meminta tolong kepada beliau untuk bersedia membuat koninklijk besluit lagi—andaikan sistem yuridis masih menolak berkas bukti yang sudah diserahkan.
Aku kira kali ini semuanya akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya nasib buruk kembali menimpa orang yang kusayangi.
Saat aku sedang duduk di kursi meja makan, menyendok makan siang yang tersaji di atas piring, smartphone-ku bergetar, terdapat panggilan WhatsApp dari Kak Lodewijk. Aku menjawab teleponnya, lantas ia memberitahukan sesuatu yang membuat hatiku terasa diiris oleh sebilah pisau.
Kak Lodewijk mengabarkan bahwa Meneer Karim dilarikan ke rumah sakit karena ditikam oleh salah satu tahanan di gym indoor penjara, saat ia sedang mengikuti jadwal latihan fisik. Ia mengatakan bahwa Meneer Karim butuh donor darah segera, karena ia sangat kekurangan darah sedangkan stok darah di rumah sakit habis.
Ia sudah memberitahukan kedua orang tua Meneer Karim, tetapi ayahnya yang memiliki golongan darah A—golongan darah yang sama dengannya sedang berada di Kota Bandung, karena sedang memeriksa kondisi Kak Muhamed di sana, sedangkan ibunya memiliki golongan darah AB.
Dengan sedikit terisak, aku memberitahukan Kak Lodewijk bahwa aku akan segera pergi ke rumah sakit tempat Meneer Karim dirawat dan meminta Tuan Wisnu untuk segera menyalakan mesin mobil menuju rumah sakit tersebut.
Tuan Wisnu pun bergegas berdiri dari kursi meja makan dan berjalan bersamaku keluar rumah, menyalakan mesin mobil—mengeluarkannya, sedangkan aku mengunci pintu rumah dan pintu pagar sebelum masuk ke dalam mobil. Lantas Tuan Wisnu mengemudi secepat yang ia bisa.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, aku meminta Kak Lodewijk untuk memberitahukan perawat di ruang Instalasi Gawat Darurat agar menyampaikan pertanyaan kepada perawat mengenai aku harus pergi ke mana, jika ingin mendonorkan darah. Setelah mendapat jawaban secara rinci—saat kami sampai di depan pintu masuk aula rumah sakit, aku meminta Tuan Wisnu untuk menghentikan laju mobil.