Aku Tantri—pagi hari telah tiba. Setelah melaksanakan salat subuh, aku membuat sarapan dan secangkir kopi. Lalu menuju ruang tamu dan menaruh piring berisi makanan dan secangkir kopi tersebut di meja. Aku sebenarnya bukan pecinta kopi. Tetapi saat ayah masih hidup, aku akan membuatkan beliau sarapan serta secangkir kopi sebelum beliau berangkat bekerja. Jadi aku membuat secangkir kopi ini karena tidak ingin meninggalkan kebiasaanku membuatkan kopi untuk ayah yang sudah meninggal.
Aku menyalakan televisi dan menonton berita pagi, sang pembawa acara memberitahukan pemirsa mengenai bebasnya Karim dari penjara, karena Hakim Pengadilan Tinggi telah menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Kemudian ia memperlihatkan rekaman video wawancara yang telah dilakukan oleh wartawan berita dari stasiun televisi yang aku tonton. Terlihat Hare Hoogheid Sofia, Lodewijk, Ilya, Muhamed, Tuan Wisnu, Karim dan sepasang pria dan wanita paruh baya yang sepertinya merupakan kedua orang tua Karim.
Karim berkata ia tidak ingin menuntut balik Heer Vinno yang telah melaporkan dan menuntutnya, ia juga bilang ingin mengadakan syukuran bersama teman-temannya dan para anak yatim, makan Klappertaart bersama mereka. Dalam hati, aku mengucap alhamdulillah karena pada akhirnya Karim bebas. Janjiku pada Hare Hoogheid Sofia sudah terpenuhi dan kematian ayah tidak sia-sia.
Aku masih diskors, jadi masih belum bekerja. Lalu menghubungi Lodewijk melalui grup khusus yang Hare Hoogheid Sofia buat sekitar dua bulan yang lalu, saat kami berusaha mencari bukti tambahan untuk mengajukan banding. Aku mengucapkan selamat pada Lodewijk dan teman-temannya karena telah mencapai tujuan. Mereka juga mengucapkan terima kasih padaku karena aku telah membantu. Hare Hoogheid Sofia pun mengucapkan terima kasihnya karena aku memenuhi janji untuk mengembalikan Lodewijk padanya, setelah ia diculik oleh SSE.
Setelah itu, ia mengingatkan untuk tetap siaga karena SSE masih berkeliaran dan juga ia berpesan padaku bahwa rumahnya selalu terbuka untuk menjadi tempat mengungsi—andaikan aku melihat SSE mulai bergerak dan mengintai lagi. Tentunya aku mengucapkan terima kasih pada Hare Hoogheid Sofia untuk kebaikan yang telah ia berikan padaku kemudian aku mengakhiri percakapanku dengannya dan teman-temannya di grup WhatsApp.
Aku lanjut menonton televisi sampai acara berita selesai ditayangkan, kemudian beranjak dari bangku ruang tamu, mengambil piring dan gelas yang ada di meja dan mencucinya di wastafel dapur. Setelah lanjut menyapu lantai dengan sapu elektrik dan mengepelnya dengan pel elektrik. Mencuci pakaian kotor dan mengeringkannya dengan dryer, kemudian menyetrika pakaian yang sudah kering, melipatnya dan memasukkan ke dalam keranjang pakaian. Lanjut mengangkat keranjang berisi pakaian tersebut, membawanya ke kamar—memasukan ke dalam lemari baju.
Setelah melakukan semua itu, aku tidur sejenak selama 30 menit menunggu azan Zuhur dikumandangkan. Setelah terdengar azan dikumandangkan, aku melaksanakan salat Zuhur. Mengganti pakaian dengan mantel putih panjang, celana bahan hitam, dan tidak lupa memakai jilbab. Setelah siap, aku berjalan keluar rumah membuka pintu gerbang, mengeluarkan mobil. Kemudian menutup pintu gerbang rumahku dan menancapkan pedal gas mobil pergi menuju taman makam tempat ayah dimakamkan.
Saat sampai aku memarkirkan mobil, keluar mobil dan mengunci pintunya. Berjalan menuju bagian taman makam tempat ayah dimakamkan. Saat sampai di sana, terlihat Lodewijk sedang berdiri dekat dengan makam ayahku sambil menengadahkan tangan, setelahnya mengusap wajah tanda selesai berdoa.
Saat berpaling dari makam ayah, dia menghadapkan diri ke arahku yang masih berdiri terpaku menatapnya. Jarak antara kami mungkin sekitar dua tiga meter. Ia yang menatapku turut terpaku tak bergeming dari tempatnya berdiri. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, dengan sedikit terbata-bata berusaha menyapaku.
“H-hei.... assalaamu’alaikum.”
Ia tersenyum walau tampak canggung, aku menjawab salamnya dan berusaha memecahkan kecanggungan tersebut. Membalas senyumnya, lalu membuka percakapan dengan sedikit candaan.
“Wa’alaikumussalaam, apa kabar Meneer de Advocaat?[1]”
“Ahahahah, alhamdulillaah baik kok. Bedankt voor het vragen mevrouw de Politie Agente[2],” jawabnya.
“Kalau aku boleh tau, kamu kenapa dateng ke makam ayahku dan berdoa? Maksudku, kamu gak harus repot-repot ngelakuin itu,” ujarku berusaha melanjutkan percakapan.
“Ayahmu pernah minta ke aku kalau dia udah meninggal, dia mau aku sama temen-temennya Hare Hoogheid Sofia ngunjungin makamnya sesekali dan aku ngejawab permintaan beliau dengan bilang insyaAllah. Jadi aku ngunjungin makam ayahmu sekarang buat ngedoain dia,” ujarnya menjawab pertanyaanku.
“Oh-ok. Jadi setelah ini, kamu mau ngapain?” tanyaku.