Antara Darah dan Hati 2: Dream Reality Seri 3

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #20

Chapter 4 Bagian 3 Syukuran

Aku Karim—seminggu setelah terbebas dari penjara, aku dan kedua orang tuaku, serta teman-teman melaksanakan acara syukuran makan siang dan Klappertaart bersama anak yatim piatu di salah satu panti asuhan yang ada di kota ini. Sebelum makan, kami bersama seorang Ustaz yang sekaligus menjadi guru membaca al-Quran di panti asuhan tersebut, memanjatkan doa berharap agar aku sekeluarga dan teman-teman terhindar dari segala fitnah dan kejahatan yang ada di muka bumi. Sehingga apa yang telah menimpaku tidak menimpa mereka.

Setelah doa selesai dipanjatkan, kami makan siang bersama, duduk lesehan di salah satu ruangan panti asuhan. Setelah makan siang, banyak anak panti asuhan yang mengerumuni Hare Hoogheid Sofia dan menanyai dia berbagai hal seperti; bagaimana rasanya menjadi bangsawan, apa kegiatan dia sehari-hari sebagai seorang bangsawan, dan berbagai hal lain. Salah satu pengurus panti asuhan sempat melarang anak-anak panti bertanya yang aneh-aneh, tetapi Hare Hoogheid Sofia mengatakan pada pengurus panti, bahwa ia tidak keberatan anak-anak panti menanyakan berbagai hal.

Ia menjelaskan pada para anak panti asuhan bahwa menjadi bangsawan tidak seindah dan senyaman yang sering ditunjukkan oleh media. Ia juga mengatakan pada mereka bahwa seorang bangsawan seringkali terikat oleh peraturan protokol kerajaan yang harus dipatuhi oleh anggota keluarga kerajaan seperti, harus terlihat ramah dan menunjukkan teladan di depan masyarakat yang mana seringkali itu menjadi beban baginya. Ia juga menjelaskan pada mereka bahwa menjadi seorang bangsawan membuat ia seringkali merasa kesepian, karena ia seringkali dianggap sombong dan angkuh oleh orang-orang sekitar karena status yang disandang. Ditambah ia adalah seorang Belanda, jadi tidak jarang ia dianggap jahat oleh orang-orang Indonesia di sekitarnya. Ia menjelaskan pada mereka, ada kalanya ia ingin menjadi orang biasa—tanpa gelar bangsawan, karena setidaknya dengan menjadi orang biasa, ia tidak harus selalu terlihat sempurna di hadapan orang-orang.

Saat ia memberikan penjelasan pada mereka, aku melihat raut wajahnya menjadi agak murung dan kedua matanya mulai berkaca-kaca. Setelah ia selesai memberikan penjelasan, semua anak panti asuhan yang mendengar penjelasannya diam membisu. Hingga salah satu dari mereka yang terlihat masih dalam usia balita berjalan mendekati dan memeluk tubuhnya.

“Kak Tuan Putri, kakak jangan sedih! Aku sayang sama kakak.”

Kemudian beberapa anak lainnya pun turut mendekati Hare Hoogheid Sofia, mengerumuni ingin memeluknya. Anak-anak itu memeluk Hare Hoogheid Sofia seolah-olah mereka memahami apa yang ia rasakan. Ia membalas pelukan tersebut dengan erat, lalu membalas kalimat yang keluar dari anak yang pertama kali memeluknya.

“Aku sayang kalian juga.”

Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya dengan nada lembut penuh kasih sayang. Hare Hoogheid Sofia adalah seorang gadis yang baik dan sayangnya apa yang dia katakan benar. Orang-orang yang hanya melihat dirinya dari luar dan tidak mengenal dekat, akan menganggap bahwa ia adalah seseorang yang angkuh dan sombong karena statusnya sebagai bangsawan ditambah dia adalah seorang Belanda.

Aku juga saat belum mengenalnya sempat menganggap bahwa dia adalah seseorang yang rasis dan tidak ingin berteman denganku, tetapi saat melihat dia melakukan kerja kelompok di perpustakaan bersama dengan teman-teman pribuminya, aku merasa tertampar dan bersalah karena memiliki anggapan seperti itu. Oh-ya, aku jadi ingat, ingin meminta maaf karena pernah memiliki anggapan itu. Nanti aku harus meminta maaf padanya.

Setelah mereka berpelukan untuk waktu yang cukup lama, salah satu pengurus panti berkata agar mereka melepaskan pelukan pada Hare Hoogheid Sofia.

“Kalian, udah pelukannya? Kasihan Putri Sofia, makan siangnya udah selesai, beliau mau pulang.”

Kemudian salah satu dari mereka menengok ke arah pengurus panti yang mengatakan itu dan menjulurkan lidah.

“Wlee, enggak mau!”

Melihat itu sang pengurus panti membalas perkataannya.

“Ih, kamu ya kalau dikasih tau susah banget!”

Melihat interaksi mereka berdua, Hare Hoogheid Sofia pun tersenyum.

“Ah, enggak apa-apa, Pak. Mereka lagi mau disayang sama saya. Mumpung ada di sini, saya mau ngasih apa yang mereka mau. Lagian suatu hari nanti, saya bakalan nikah dan punya anak. Jadi selama saya di sini, saya bisa belajar sedikit cara ngehadepin anak kecil.”

“Kak Putri Sofia jangan pulang dulu dong, alstublieft[1], aku mau main sama Kakak,” ujar salah satu anak yang turut mengitarinya.

“Kamu mau main apa?” tanyanya pada anak tersebut.

“Aku mau main petak umpet!” ujar anak itu bersemangat.

“Aku juga!”

“Aku juga!”

Lihat selengkapnya