Aku Sofia—mengira pada akhirnya bisa hidup dengan tenang, tetapi lagi-lagi—seseorang yang dekat denganku harus celaka karena melayani dan melindungiku. Sungguh, aku tidak keberatan seandainya turut mati saat kami diserang oleh SSE di terowongan itu, tetapi kenapa Tuhan masih menginginkanku hidup? Tanpa Tuan Wisnu, aku tidak tahu siapa lagi yang akan menghibur di kala aku sedih, dan aku tidak tahu kepada siapa lagi bisa meminta saran atau nasihat selain kepadanya.
Tuan Wisnu, begitu banyak kenangan yang aku lalui bersamanya. Dulu, saat aku pertama kali menginjakkan kaki di sini, berusaha menyesuaikan diri saat bersekolah untuk mengenyam pendidikan di bangku SMP, aku sering mendapatkan tatapan sinis dari murid-murid di sekolah. Terkadang, mereka juga mencemooh dan menghina, mengatakan bahwa aku ini egois dan angkuh. Mereka juga mengatakan bahwa aku manja dan calon penindas. Semua hinaan mereka sering kali membuatku menangis dan sedih, tetapi Tuan Wisnu lah yang mengajarkanku bagaimana caranya agar bisa bergaul dengan teman-temanku.
Saat aku dihina dan dicerca, Tuan Wisnu memberikan contoh dari Nabi Muhammad. Dia mengatakan bahwa, walau Nabinya dicemooh oleh orang yang meludahinya, beliau tetap tersenyum pada orang itu bahkan saat orang itu sakit, beliau menjenguk orang tersebut. Tuan Wisnu juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad menjenguk pelayannya yang seorang Yahudi saat pelayannya jatuh sakit. Kebaikan Nabi Muhammad membuat ayah sang pelayan Yahudi terkesima oleh akhlak beliau sampai-sampai ayah sang pelayan Yahudi tersebut mengizinkan dirinya untuk menjadi seorang muslim.
Tuan Wisnu mengatakan padaku untuk mencoba melakukan hal yang sama pada mereka seperti; berbagi makanan atau menjenguk salah satu dari mereka saat ada yang sakit. Setelah mencoba apa yang Tuan Wisnu sarankan, akhirnya aku mendapat beberapa teman dari mereka yang sebelumnya tidak menyukaiku.
Tuan Wisnu pula yang mengajari bagaimana caranya memasak, mencuci piring, caranya mencuci, mengeringkan dan menyetrika pakaian. Beliau juga yang menunjukkan berbagai lokasi di kota ini, supaya aku hafal seluk-beluk wilayah tempat aku tinggal.
Aku ingat pula masa-masa saat Laras, anak Tuan Wisnu masih hidup. Walau ia terkena kanker dan harus terus berada di rumah sakit, setiap kali aku dan Tuan Wisnu mengunjunginya, ia selalu tersenyum menyambut kami dengan semangat hidup yang bahkan aku sendiri belum memilikinya sampai saat ini.
Laras selalu bertanya padaku mengenai kegiatanku bersama Tuan Wisnu dan kegiatan di sekolah bersama teman-temanku. Walau terkadang merasa kegiatanku membosankan, tetapi Laras tetap ingin mendengarnya. Ia bahkan berkata bahwa ia iri denganku yang bisa selalu menghabiskan waktu bersama ayahnya ketimbang dirinya.
Ia juga berkata padaku, bahwa ia ingin merasakan bersekolah lagi dan memiliki teman, karena ia kesepian. Ia sering berkata bahwa ia sangat ingin bisa menghabiskan waktu bersamaku dan Tuan Wisnu walau hanya untuk sehari saja, tetapi sampai akhir hayatnya ia tak pernah bisa melakukan itu.
Aku dan Laras pernah bertanya apa cita-cita kami masing-masing. Ia mengatakan padaku bahwa ia berharap bisa menjadi seorang Tuan Putri sepertiku. Ia ingin menjadi seorang Tuan Putri yang dicintai oleh masyarakat dan dilindungi oleh orang banyak. Aku mengatakan padanya bahwa menjadi Tuan Putri bukan sesuatu yang aku sukai, karena terlalu banyak aturan yang mengikat. Saat Laras bertanya mengenai cita-citaku, aku menjawab ingin menjadi seorang dokter, supaya bisa menolongnya dan orang-orang seperti dia agar sembuh dari penyakit.
Aku mengatakan padanya, ia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri dan tidak ingin kehilangan dirinya. Aku berkata, seandainya aku seorang dokter, aku pasti akan melakukan apapun agar Laras bisa sembuh. Kemudian ia memintaku agar berjanji untuk berjuang menjadi apa yang aku inginkan. Rasa sentuhan jari kelingkingnya yang terlipat di kelingking-ku saat membuat janji kelingking bersamanya masih dapat aku ingat sampai sekarang.
Saat Laras sudah tiada, Tuan Wisnu sering mengurung diri di kamar dan hanya keluar saat aku memintanya untuk mengantarkan ke suatu tempat. Hingga saat melihat ia pingsan, aku segera memanggil Dokter Dinda untuk segera datang dan membantuku untuk membawanya ke rumah sakit.