Antara Darah dan Hati 2: Dream Reality Seri 3

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #26

Chapter 5 Bagian 2 Mengungsi

Mobil yang kukendarai sampai di sebuah apartemen yang akan menjadi tempat kami tidur malam ini. Gedung apartemen yang memiliki 5 lantai ini adalah tempat di mana Reis tinggal. Sebelum memutuskan untuk pergi ke sini, aku—Tantri, sudah meminta izinnya untuk menginap di apartemennya. Setidaknya sampai suasana genting yang menerpa kami akibat dari percobaan pembunuhan terhadap Hare Hoogheid Sofia oleh Partai Neo-NSB mereda.

Aku mengemudikan mobil memasuki pelataran parkir gedung apartemen. Pelataran parkirnya cukup sepi, jadi bisa mobilku bisa diparkir dekat dengan gedung apartemen tempat Reis tinggal. Heheh, entah kenapa suasana pelataran parkir apartemen yang sunyi dan gelap dan dingin ini cukup memberi suasana mencekam yang makin menguatkan perasaan terancam yang aku rasakan sekarang.

Kami bertiga turun dari mobil, masuk ke dalam gedung apartemen. Aku memberitahukan Reis melalui WhatsApp bahwa kami sudah sampai, sedang menunggu di lantai dasar. Alasanku tidak bisa langsung pergi ke lantai apartemen tempat ia tinggal adalah, untuk menggunakan lift-nya—harus menggunakan kartu yang dapat mengaktifkan lift tersebut yang dimasukkan ke dalam lubang kartu yang berada di bawah tombol-tombol yang berada dekat pintu lift.

Hanya orang-orang yang tinggal di apartemen ini yang memiliki kartu tersebut, sedangkan kami tidak. Sehingga harus menunggu Reis untuk turun menghampiri dan mengantar kami ke ruangan apartemen tempat ia tinggal.

Setelah menunggu untuk beberapa saat, akhirnya pintu lift terbuka, menunjukkan sosok Reis yang berjalan—menyapaku.

“Yo, Tantri! Assalaamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalaam. Maaf ya Reis, ngerepotin kamu malem-malem gini,” ujarku menjawab salam yang Reis berikan.

“Gak apa-apa. Kalau aku jadi kamu, aku juga bakal ngelakuin hal yang sama. Ya udah, ayo masuk ke dalem lift! Kalau ada yang mau dibicarain, nanti aja di dalem ruang apartemenku,” ujar Reis pada kami.

Kami bertiga masuk ke dalam lift, kemudian Reis memasukkan kartu—mencabutnya dan menekan tombol lift yang tertulis angka tiga. Lift mulai bergerak ke atas, lalu  berhenti bergerak dan nada bel lift berbunyi pertanda bahwa kami sudah sampai di lantai yang dituju.

Pintu lift terbuka, kami bertiga berjalan mengikuti Reis menuju ruang apartemen tempat ia tinggal. Saat ia menghentikan langkahnya, kami turut berhenti melangkah. Ia merogoh saku dan memasukkan kartu yang tadi ia gunakan untuk mengaktifkan lift ke dalam lubang kartu yang berada di gagang pintu ruang apartemennya. Lampu indikator yang berada di gagang pintu yang sebelumnya menunjukkan warna merah berubah menjadi hijau, kemudian ia mencabut kartu tersebut dan membuka pintu ruang apartemennya.

“Silakan masuk,” ujarnya pada kami bertiga dengan memberikan gestur telapak tangannya yang terbuka menghadap atas dan lengannya yang mengarah pada ruang apartemennya.

Kami bertiga masuk ke dalam diikuti oleh Reis, ia kemudian menutup pintu ruang apartemennya dan mempersilakan kami untuk duduk di sofa ruang tamunya.

“Silakan duduk.”

Kami bertiga duduk di atas sofa dan melihat di atas meja ruang tamunya telah tersedia teh hangat. Reis pun turut duduk di sofa lain yang menghadap ke arah televisi LCD yang terpasang di dinding ruang tamu apartemennya.

“Aku harap kalian suka teh manis anget, tapi kalau kalian mau yang lain kayak kopi, bilang aja. Nanti aku buatin.”

“Ah, enggak apa-apa Reis. Makasih udah mau nyiapin teh anget buat kita bertiga,” ujarku mengucapkan terima kasih.

“Iya Kak Reis, makasih,” ujar Ilya turut menimpali.

“Sama-sama,” balasnya.

Lodewijk tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Reis, biasanya Lodewijk orangnya supel, tetapi untuk pertama kalinya aku melihat sisi lainnya yang diam tak banyak bicara. Apa karena Lodewijk belum mengenal Reis, sehingga ia tidak ingin banyak bicara karena ia belum percaya bahwa Reis adalah kawan? Jika iya—Lodewijk belum percaya bahwa Reis. Aku paham kenapa, tetapi aku harap ia bisa segera menurunkan penjagaannya dan mempercayai Reis sebagai kawan.

“Jadi, kamu ya—Lodewijk Engels? Aku banyak liat muka kamu yang diliput sama media massa,” tanya Reis pada Lodewijk.

Lihat selengkapnya