Samar-samar suara alarm yang kian mengeras terdengar di kedua telinga, membangungkanku dari tidur. Diriku yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya berusaha meraih smartphone yang diletakkan di sebelahku. Saat kesadaran terkumpul penuh, aku Tantri—menyadari bahwa sekarang masih pukul 3 pagi dan bunyi alarm tersebut bukan berasal dari smartphone-ku, tetapi dari smartphone Lodewijk yang ia letakkan di meja ruang tamu—dekat dengan dirinya yang masih tampak terbaring pulas di atas karpet.
Aku bangkit perlahan dari posisi berbaring, duduk sejenak kemudian berdiri—berjalan menuju tempat Lodewijk berbaring. Duduk berlutut di sebelahnya, menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan menarik dan mendorong pundak serta lengan atas kirinya—berusaha membangunkannya, tetapi ia masih belum terbangun dari tidur. Jadi aku membungkukkan punggung dan mendekatkan wajah ke telinganya.
“Hei Lodewijk, Lodewijk—bangun!” ujarku dengan nada sedikit keras.
Aku sedikit menjauhkan wajah dari telinganya dan menggoyang-goyangkan pundak, lengan atas kirinya lagi, kemudian kembali mendekatkan wajah berusaha membangunkan. Sampai akhirnya kedua mata Lodewijk perlahan terbuka. Sembari mengumpulkan kesadarannya, ia bangkit dari posisi berbaring ke posisi duduk—mengusap kedua mata dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan berusaha meraih smartphone-nya yang tergeletak di meja. Aku segera mengambil smartphone tersebut dan memberikannya pada Lodewijk.
Ia mematikan alarm smartphone-nya lalu beranjak berdiri—berjalan menjauhiku yang masih duduk berlutut di sebelah tempat ia sebelumnya berbaring. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya, karena aku heran mengenai alasan dia memasang alarm agar berbunyi pada pukul 3 dini hari.
Aku beranjak berdiri, berjalan kembali menuju sofa tempat aku sebelumnya tidur. Saat aku ingin kembali berbaring, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka—sosok Lodewijk yang berjalan keluar dari toilet terlihat bercahaya di wajah dan kedua lengannya karena basah terkena air wudhu. Aku rasa ini alasan dia memasang alarm pada pukul 3 dini hari. Dia ingin melaksanakan salat Tahajud.
Dia kembali ke tempat ia sebelumnya berbaring, lalu melaksanakan salat Tahajud di situ. Melihat dia melaksanakan salat Tahajud, membuatku ingin melakukan hal yang sama. Sayang mukena cadangan ada di mobil dan aku tidak bisa mengambilnya karena kartu untuk menggunakan lift serta membuka pintu masuk ke ruang apartemen ini dipegang oleh Reis, mungkin pada pagi hari aku akan melakukannya.
Selesai melaksanakan salat Tahajud, Lodewijk berdoa sejenak, lalu kembali berbaring untuk tidur. Entah kenapa aku merasa terpesona sejenak karena melihat wajahnya yang terlihat bercahaya setelah mengambil air wudhu. Aku harap itu bukan sebuah tanda bahwa, aku tertarik padanya.
Aku pun berbaring, memejamkan mata dan kembali tidur. Hingga beberapa saat kemudian, saat terlelap, suara alarm kembali terdengar yang membangungkanku, Ilya, dan Lodewijk.
Meraih smartphone-ku dan mematikan alarm yang dipasang untuk berbunyi pada pukul 4 di pagi hari. Ternyata bukan hanya aku saja yang menyetel alarm untuk berbunyi pukul 4 pagi. Teman-temanku juga menyetel alarm mereka untuk berbunyi di waktu yang sama.
Reis keluar dari kamarnya, kemudian dia yang melihat kami semua sudah bangun, mengatakan bahwa ia akan salat di masjid. Bertanya kepada Ilya dan Lodewijk apakah mereka akan salat di masjid juga atau tidak.
Ilya dan Lodewijk mengatakan bahwa mereka akan ikut dengan Reis, sedangkan aku memilih untuk salat di sini. Dikarenakan mukena cadangan berada di mobil, aku ikut bersama teman-teman keluar dari ruang apartemen Reis menuju lantai dasar. Meminta Reis untuk menitipkan kartu ruang apartemennya padaku, agar setelah mengambil mukena di mobil, aku bisa masuk kembali ke ruang apartemennya.
Setelah Reis memberikan kartunya, aku segera pergi ke mobilku, mengambil mukena dan kembali ke ruang apartemen untuk melaksanakan salat subuh. Menunggu pesan WhatsApp-nya yang mengatakan bahwa ia sudah selesai salat Subuh—sedang menunggu di lantai dasar bersama Ilya dan Lodewijk.
Setelah pesan dari Reis masuk ke dalam WA, aku segera keluar dari ruang apartemennya dan turun ke lantai dasar menemui mereka, memberikan kartu akses padanya.
Kami pun kembali ke atas mengambil barang-barang yang diperlukan untuk investigasi dan kembali turun ke lantai dasar ditemani olehnya.
Saat kami sampai di lantai dasar, kami bertiga berpisah darinya dan mengucapkan kalimat perpisahan..
“Makasih ya Reis, nanti kita balik lagi,” ujarku padanya.
“Makasih, Kak Reis,” ujar Ilya.
“Makasih Reis,” ujar Lodewijk.
“Iya sama-sama, kalau perlu bantuan lain, bilang aja. Aku harap kalian aman selama ngelakuin investigasi ini dan temen kalian bisa ditemuin dalam keadaan selamat, aamiiin,” balasnya.
“Aamiiin,” ujarku turut mengaminkan.
Kami bertiga berpaling darinya, berjalan keluar dari gedung apartemen menuju tempat mobilku terparkir. Saat sampai, aku membuka kunci mobil lalu masuk ke dalamnya diikuti oleh Lodewijk dan Ilya. Kemudian mengendarai mobilku menuju gedung apartemen tempat Riri tinggal.