Antara Darah dan Hati 2: Dream Reality Seri 3

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #28

Chapter 5 Bagian 4 Video Aneh Mencekam

Mobil yang kukendarai sampai di gedung apartemen yang menjadi tempat tinggal Lodewijk—sebelum dia mendapat rumah warisan Ludwig. Aku mengendarai mobil memasuki pelataran parkir dan memarkirnya sesuai dengan arahan Lodewijk. Turun dari mobil, aku Tantri—mengikuti langkah kaki Lodewijk menuju ruang apartemennya dari belakang.

Langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu ruangan apartemen, yang berada di lantai tiga. Ia merogoh saku dan membuka kunci pintu ruang apartemen, mempersilahkan aku dan Ilya untuk masuk.

Saat masuk, aku merasakan debu-debu yang menumpuk di lantai menempel di atas kedua telapak kakiku. Ruangan apartemen tempat dia tinggal tidak serapi yang kuduga. Sebenarnya ini adalah salah satu hal yang sedikit membuatku terganggu, tetapi sudahlah. Aku harus memaklumi karena Lodewijk adalah laki-laki dan juga mungkin untuk standar laki-laki ini sudah cukup rapi.

“Yah mohon maaf kalau apartemen ini sedikit berdebu. Sejak aku tinggal di rumah yang sekarang, aku jarang ke sini buat bersih-bersih,” ujar Lodewijk pada kami.

“Enggak apa-apa,” ujarku membalas perkataannya.

“Iya enggak apa-apa, Kak,” ujar Ilya turut menimpali.

Ia kembali melangkahkan kaki menuju salah satu sudut apartemen yang memiliki pintu, lalu membuka kunci pintunya kemudian mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam.

“Ini kamar yang biasa aku pake buat tidur sama ngerjain berkas-berkas dari kasus yang aku dapet. Tapi kalau kalian mau pake kamar yang satunya—bilang aja. Cuman kamar yang satunya mungkin lebih berdebu, soalnya jarang aku tempatin,” ujar Lodewijk pada kami.

Aku mencium samar-samar bau tembakau di kamarnya. Apakah Lodewijk seorang perokok sama seperti mendiang ayahku? Hhuhh, rokok dan bau rokok termasuk hal-hal kecil yang sedikit membuatku terusik. Sudahlah Tantri, sabar dan maklumi saja! Ada hal yang lebih penting yang harus dipikirkan, daripada debu yang menumpuk di lantai atau samar-samar bau tembakau yang hinggap di sebuah ruangan. Hiraukan itu semua untuk sementara.

“Huuhh.” Aku mengembuskan napas berusaha meredakan rasa jengkel yang sempat merasuki sanubari. “Kamar yang ini juga enggak apa-apa,” jawabku atas pertanyaan Lodewijk.

“Sip! Kamu sama Ilya susun aja petunjuknya, aku bakal nyapu sama ngepel lantai. Kalau mau cemilan atau minuman bilang aja, nanti aku beli,” ujar Lodewijk.

“Hm, makasih,” ujarku menjawab perkataan Lodewijk.

“Sip, makasih Kak,” jawab Ilya menimpali.

Aku menaruh laptop di atas meja kerja milik Lodewijk. Saat memerhatikan meja kerjanya, aku melihat salah satu bagian permukaan meja kerjanya yang terbuat dari kayu terlihat sedikit gosong. Pasti tempat yang terlihat gosong itu, menjadi tempat ia menaruh asbaknya dan abu dari rokok yang ia isap sering turut berceceran di sekitar asbak.

Lihat selengkapnya