Aku Tantri—kedua mata perlahan terbuka, samar-samar dering suara alarm smartphone-ku membangunkan dari tidur. Pagi telah tiba, tetapi badan masih terasa berat untuk bangkit dari kasur tempatku berbaring. Belum termasuk rasa pusing yang masih tersisa akibat puzzle-puzzle QR code yang menyebalkan itu, membuat perut sedikit merasakan mual.
Ah sial, ayolah Tantri bangunlah! Para musuh tak kenal lelah dalam membuat hidupmu dan hidup teman-temanmu dipenuhi oleh penderitaan, jadi kau harus kuat, sama seperti ayah dan leluhurmu!
“Huuhh!”
Menghembuskan napas sekuat yang aku bisa, mengulanginya sebanyak tiga kali, lalu bangkit dari posisi berbaring ke posisi duduk. Saat berada di posisi duduk, aku segera menyibakkan selimut yang menutupi kedua paha sampai kaki. Menapakkan kedua telapak kaki di atas lantai dan segera berdiri—melompat-lompat kecil, kemudian berjalan menuju pintu kamar.
Oh-iya, saat aku langsung berbaring menghempaskan tubuh di atas kasur ini, aku tidak memakai selimut sama sekali. Siapa yang menyelimutiku semalam? Ah entahlah, itu tidak penting! Aku harus segera mengambil air wudhu dan melaksanakan salat subuh.
Saat keluar kamar, aku melihat Lodewijk sudah terbangun dari tidurnya dan sedang menonton acara berita olahraga sepak bola yang menayangkan berita hasil pertandingan semalam. Wow, bahkan di saat salah satu teman kita dalam kondisi bahaya, dia masih bisa menikmati hidup. Yah, mungkin karena cara kami dididik oleh orang tua masing-masing berbeda—dia tidak sepertiku yang lebih kaku.
Aku berjalan menghampiri Lodewijk yang sedang duduk di Sofa, pandangannya terpaku pada layar kaca yang menampilkan acara berita hasil pertandingan yang sedang ia tonton seraya memanggilnya. Kepala dan badannya berputar menengok ke arahku, kemudian ia menyapa dengan sedikit candaan. Tetapi entah kenapa mendengar candaan itu membuatku sedikit jengkel.
“Akhirnya putri tidur bangun juga.”
“Huuhh!” aku menghembuskan napas berat. Ditambah dia menunjukkan senyum jahil yang tipis yang menambah sedikit rasa jengkel yang aku rasakan sedari tadi akibat candaannya. Setelah puas menyaksikan reaksiku yang sepertinya tampak dengan raut wajah yang kupasang padanya, ia memberitahukanku mengenai sarapan yang telah ia buat untukku dan Ilya.
“Aku udah buat sarapan untuk kamu sama Ilya. Ilya udah makan jatah sarapannya, soalnya dia bangun duluan sebelum kamu sekitar jam empat pagi tadi dan salat berjamaah sama aku di mesjid.”
“Toilet di mana?” tanyaku.
“Di sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk arah toilet dengan telapak tangan yang terbuka menghadap atas beserta jemarinya yang lurus menghadap ke arah toilet.
Aku berjalan pergi meninggalkannya, mengambil air wudhu di toilet, kemudian melaksanakan salat subuh di kamar. Menyantap sarapan yang telah dibuat oleh Lodewijk di meja makannya sembari memeriksa apakah ada pesan masuk dari pemilik bangunan apartemen tempat Riri tinggal atau tidak.
Pemilik gedung apartemen tersebut sudah membalas surel-ku, dia bersedia menemuiku di rumahnya pada pukul delapan pagi. Aku memberitahukan Lodewijk mengenai ini dari ruangan tempatku berada.
“Hei Lodewijk, pemilik gedung apartemen tempat Riri tinggal mau ketemu sama kita jam delapan pagi.”
“Sip,” ujar Lodewijk menjawab.
Aku menyelesaikan kegiatan menyantap sarapan, lalu menunggu hingga saatnya bagi kami semua untuk berangkat ke tempat tujuan tiba.
Pukul tujuh lewat lima belas pagi kami semua berangkat menuju rumah pemilik gedung apartemen menggunakan mobilku dan untuk kali ini Lodewijk yang mengemudikan mobil, karena aku masih mengantuk akibat tidak tidur selama dua hari dua malam. Selama perjalanan, awan mendung yang menyelimuti matahari turut menaungi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami yang membuatku perlahan terbuai oleh rasa kantuk—terlelap.
“Hei Tantri, Tantri bangun!” ujar Lodewijk yang mana suaranya membangunkanu dari tidur.
“Kita udah sampe,” ujarnya menjelaskan.
Tangan kanan otomatis mengangkat kacamata yang kukenakan lalu mengusap kedua mata. Membuka pintu mobil dan keluar, berjalan bersama Lodewijk dan Ilya menuju gerbang kediaman pemilik gedung apartemen tempat Riri tinggal. Lodewijk menekan bel rumah yang menjadi tujuan kami beberapa kali, hingga aku melihat pintu depan rumah tersebut terbuka.
Seorang pria paruh baya dengan janggut yang panjangnya menutupi lehernya keluar dari rumah tersebut lalu berjalan menuju pintu gerbang, menghampiri kami yang sedang menunggu di depan pintu rumahnya.
“Permisi Pak selamat pagi. Saya Tantri Annie Dekker, Polisi Inspektur Dua dari Divisi Keamanan Siber yang menghubungi Bapak kemarin malam,” ujarku menjelaskan sambil menunjukkan lencana dan kartu identitas polisi yang ada di dompetku. Ia melihat lencana dan kartu identitas polisi lalu memperkenalkan dirinya.