Aku Sofia tinggal di Istana Het Loo, istana yang sekaligus berfungsi sebagai sebuah museum yang mana bagian kiri bangunannya itulah tempat tinggalku bersama ayah dan ibu. Setidaknya itulah yang mereka rasakan tapi tidak denganku, tempat ini lebih terasa seperti penjara. Tempat di mana aku harus bersikap dan bertutur kata layaknya seorang Bangsawan Eropa dan bukan menjadi diri sendiri.
Ketika aku menginjakkan kaki lagi di sini setelah sekian lama tidak pulang, kedua orang tuaku segera memeluk dan menanyakan kabar dengan nada sendu—khawatir. Aku tahu mereka menyayangi dan pasti sangat mengkhawatirkanku, begitupun sebaliknya. Tapi untuk beberapa alasan, rasanya tidak seperti perasaan yang sama sebagaimana aku menyayangi Tuan Wisnu.
Di istana ini, pandangan para pelayan dan penjaga istana tak pernah luput dari mengawasiku sejak kejadian percobaan pembunuhan terhadap ku. Mereka menatap dengan sesekali memberikan senyuman ramah, menanyakan apakah aku baik-baik saja atau tidak. Tapi aku merasa semua yang mereka lakukan hanyalah kepalsuan belaka, karena aku tidak tahu apa isi hati mereka dan apa yang mereka pikirkan mengenai aku yang dekat dengan Meneer Karim. Pandangan mata mereka selalu mengawasi membuatku merasakan rasa takut yang sangat besar saat mengambil air wudhu dan melaksanakan salat. Istana ini bukanlah rumah—terasa seperti penjara.
Beberapa hari setelah kedatanganku, mereka berdua menanyai terkait orang-orang yang mencoba membunuh. Lalu aku memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi; mulai dari aku yang mengakhiri hubungan dengan Heer Vinno karena perlakuannya hingga perjuanganku bersama teman-teman membebaskan Meneer Karim dari penjara, serta marabahaya lainnya yang dilalui. Sampai akhirnya Meneer Karim bisa dinyatakan terbebas dari penjara—menunjukkan pada mereka bukti-bukti kebusukan dan kelicikan partai Neo-NSB yang sedang berkuasa di RIS beserta unit rahasia mereka yang bernama SSE.
Setelah mendengar penjelasanku dengan seksama, mereka memutuskan untuk membuat jadwal agar aku beserta kedua orang tuaku bisa bertemu dengan Yang Mulia Raja Belanda, supaya kami bisa memikirkan bagaimana caranya kami bisa menghentikan segala kekacauan ini sebelum makin bertambah buruk. Selain itu, mereka juga menerima keputusanku untuk memutus hubungan dengan Heer Vinno dan mengumumkan pemutusan hubungan tersebut kepada awak media massa, sehingga masyarakat berhenti membuat gosip dan rumor yang buruk mengenai hubungan asmaraku.
Mereka juga bertanya mengenai hubunganku dengan Meneer Karim dengan nada khawatir. Aku memahami bahwa, sesuatu yang buruk akan terjadi padaku apabila aku memberitahu mereka mengenai perasaanku yang sesungguhnya terhadap Meneer Karim. Sehingga aku memberitahu mereka bahwa aku hanya menganggapnya sebagai teman dekat. Hatiku terasa seperti disayat oleh sebuah pisau tajam kala mengatakan itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Tidak tahu apa yang akan terjadi bila mengatakan yang sesungguhnya, yang bisa kulakukan hanyalah menyimpan perasaan ini sendirian dan berharap bahwa Allah akan menunjukkan jalan keluarnya.
Kedua orang tuaku juga meminta Yang Mulia Raja Belanda untuk membuat koninklijk besluit, sehingga pihak kampus tempatku belajar mengirimkan pengajar privat di istana agar aku tidak tertinggal pembelajaran. Ya, menghabiskan satu semester di istana ini setidaknya sampai keadaan membaik dan mereka merasa sudah cukup aman bagiku untuk kembali berbaur dengan masyarakat.
Hari-hari di istana terasa penuh dengan penyiksaan. Duka cita karena aku harus menyembunyikan kegiatan mengambil air wudhu dan melaksanakan salat di tempat yang menurutku tersembunyi dari pandangan para pelayan dan penjaga istana. Selain itu, hal yang paling mengerikan—selalu berusaha kuhindari adalah jamuan makan malam dan pesta yang dipenuhi minuman keras serta makanan tidak halal.
Alasan yang selalu kugunakan untuk menghindari jamuan makan malam maupun pesta adalah dengan mengatakan bahwa suasana hatiku masih belum membaik dan memilih untuk makan di kamar. Saat makan pun aku selalu makan sayur, sehingga badanku menjadi lebih kurus daripada sebelumnya yang membuat orang tua khawatir. Aku berdalih pada mereka, bahwa aku sedang melakukan diet walaupun tahu tidak bisa terus bersikap seperti ini, karena cepat atau lambat mereka akan semakin curiga dan menginterogasi.
Aku selalu menangis setiap kali berada di sujud terakhir dengan bacaan Bahasa Arab yang terbata-bata dan pelafalannya yang buruk, berharap bahwa Allah menerima salat-ku dan mengeluarkanku sesegera mungkin dari sini. Atau berharap agar Ia setidaknya berkehendak agar saat Ibu, Ayah, Paman, dan Keluargaku telah mengetahui bahwa aku sudah menjadi seorang muslim; mereka menerima keputusanku dengan lapang dada atau membiarkanku mempraktikan jalan hidup yang dipilih. Lalu memohon kepada-Nya agar Dia segera mencabut nyawaku jika itu lebih baik bagiku, dan memohon kepada-Nya agar Dia berkehendak untuk menyatukanku dengan Meneer Karim sebagai suami-istri di dunia jika Dia masih menginginkanku tetap hidup.
Pada pertengahan semester, aku mendapat pesan dari Heer Vinno melalui surat yang ia tulis, seorang pelayan istana yang memberikan surat itu padaku. Sebenarnya enggan membaca surat itu, tapi karena penasaran dan khawatir—bahwa surat itu mungkin berisi ancaman yang ditujukan kepada teman-temanku. Akhirnya kubaca surat tersebut.
"Kepada Yth. Yang Mulia Putri Sofia van Amsberg
Goedemiddag mijn lieverd[1], atau lebih tepatnya goedemiddag mijn lieve bruine hoeren aap[2]. Bagaimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik aja dan menikmati kemenangan sementaramu itu, karena sesuatu yang lebih buruk sedang nungguin kamu. Apa kamu penasaran dengan hal yang lebih buruk itu?
Tuan putriku sayang, aku punya rekaman video yang isinya memperlihatkan kamu sedang ngelakuin ritual terkutuk yang para muslim sering lakuin. Apa kamu penasaran gimana nanti masyarakat Belanda bereaksi saat mereka tau, kalau kamu udah jadi seorang muslim yang sering ngelakuin ritual terkutuk lima kali dalam sehari itu? Sama, aku juga penasaran
Mengenai dari mana aku dapet rekaman ini, itu nggak penting—yang jelas, aku saranin kamu tetap tenang. Aku tau kamu takut dan khawatir aku bakal nyebarin. Tapi kalau kamu mau agar rekaman nggak kesebar, masih mau reputasi dan statusmu aman, serta terhindar dari amarah kedua orang tuamu dan kemurkaan Yang Mulia Raja Belanda—syaratnya mudah. Kembalilah jadi tunanganku dan nikahi aku! Kalau kamu mau balikan, aku bukan cuman bakalan nggak nyebar video rekaman itu, aku juga bakal memperlakukanmu lebih baik daripada cara monyet coklat rendahan itu memperlakukanmu.
Selain itu, aku bakal maafin kamu—selama kamu mau ngasih klarifikasi ke awak media massa kalau segala hubungan intim yang udah kita lakuin adalah karena rasa suka sama suka, bukan karena paksaan.
Semua pilihannya ada di tanganmu Tuan Putriku yang manis, aku bakal nunggu selama seminggu. Kalau kamu nggak ngebales surat ini dalam kurun waktu seminggu, jangan salahkan aku jika hidupmu bakal lebih menderita daripada sebelumnya.
Salam hangat penuh cinta, Jonkheer Vinno Diederik de Graeff."
Setelah selesai membaca surat itu, aku merasa sulit menggerakkan tubuh dari tempat duduk. Perasaan marah, sedih, takut, bingung bercampur jadi satu. Kenapa Ya Allah, kenapa? Kenapa Engkau memperlakukanku seperti ini? Apa yang kau inginkan dariku? Apa?! Tuan Wisnu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa? Tuan Wisnu—aku ingin memeluknya, aku ingin menangis di dalam pelukannya!
"Heheh, Hare Hoogheid jangan nangis, calon Ratu, kok cengeng?"