Aku Sofia—hari ini jadwal pertemuanku dengan Paman Yang Mulia Raja Belanda telah tiba. Aku bersama kedua orang tuaku pergi ke Istana Noordeinde, istana yang menjadi tempat di mana Yang Mulia Raja Belanda melakukan pemeriksaan dan memberikan segala keputusannya terhadap segala kebijakan pemerintahan yang diajukan oleh parlemen dan perdana menteri untuk disetujui.
Hari ini semua mata para pengawal termasuk supir yang sedang mengemudikan mobil yang ayah, ibu beserta diriku tumpangi—tak dapat luput dari melihatku. Pastinya mereka sedang memikirkan hal-hal aneh karena pakaian yang sedang kukenakan sekarang untuk menemui Yang Mulia Raja Belanda. Aku memakai jilbab dan rok berwarna jingga, mantel berwarna putih, serta sepasang sepatu canvas bertali berwarna putih.
Ya, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku lagi di hadapan publik. Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa video rekaman yang menunjukkan aku sedang melaksanakan salat—yang tersebar viral di berbagai platform sosial media itu benar.
Aku sebenarnya tidak ingin memakai pakaian ini, karena takut hal-hal buruk akan menimpaku dan kedua orang tuaku. Tapii saat aku mengemukakan alasan itu pada kedua orang tuaku, mereka berdua mengatakan bahwa jika ada orang yang ingin menyakiti karena aku menampilkan identitas diri yang sesungguhnya sebagai seorang muslim, maka orang itu harus melangkahi mayat mereka berdua walau orang tersebut adalah Yang Mulia Raja Belanda sendiri.
Atas dorongan dan jaminan keamanan yang mereka berdua berikan, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengenakan pakaian tertutup dan jilbab ini. Mereka juga mengambil fotoku memakai jilbab dan meminta admin yang mengelola berbagai akun sosial mediaku untuk mengunggah foto tersebut dengan tulisan yang menyatakan bahwa aku Sofia van Oranje-Nassau van Amsberg, salah satu Tuan Putri Kerajaan Negeri Belanda telah menjadi seorang muslimah. Aku bangga akan hal itu.
Di dalam caption akun sosial media juga dijelaskan latar belakang cerita kehidupanku yang membuatku memilih untuk menjadi seorang muslim. Dimulai dari pengalaman dan hari-hari yang buruk selama masih menjadi tunangan Heer Vinno, lalu dilanjutkan dengan cerita pertemuan dengan Meneer Karim beserta teman-temannya yang menolongku untuk pergi kabur dari wilayah kampus yang diserang oleh pasukan Schutterij.
Setelah itu, tulisan yang terdapat pada unggahan di berbagai akun sosial mediaku dilanjutkan dengan cerita mengenai kekagumanku pada Meneer Karim yang memperlakukan dengan penuh kebaikan, keramahan, serta hormat saat aku menjadi tamu di rumahnya beserta teman-temannya, setelah kami berhasil kabur dari wilayah kampus. Hingga cerita mengenai perjuangan bersama teman-temanku untuk membebaskannya dari tuduhan palsu oleh Heer Vinno dan cerita mengenai kasih sayang dan perhatian yang Tuan Wisnu berikan padaku selama tinggal bersamanya di Republik Indonesia Serikat, hingga ia mati di pangkuanku setelah ia menggunakan tubuhnya sebagai perisai untuk melindungiku dari tembakan orang-orang yang ingin membunuhku. Semua pengalamanku itulah yang membuatku memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Di dalam tulisan yang diunggah tersebut, juga dijelaskan mengenai ketenangan dan kebahagiaan yang aku rasakan setelah menjadi seorang muslim. Aku merasa segala rasa sakit yang mendera diri perlahan sembuh akibat beberapa alasan tersebut. Alasan tersebut pun ditulis menggunakan Bahasa Jawa yang mana berasal dari sebuah lagu Islami berbahasa Jawa buatan Sunan Bonang yang liriknya berbunyi, "Tombo ati iku limo perkarane; kaping pisan moco Qur'an lan maknane, kaping pindo sholat wengi lakonono, kaping telu wong kang sholeh kumpulono, kaping papat kudu weteng ingkang luwe, kaping limo dzikir wengi ingkang suwe. Salah sawijine sopo biso ngelakoni, mugi-mugi Gusti Allah nyembadani.".
Di dalam unggahan tersebut juga tertulis artinya, "Obat hati ada lima perkaranya; yang pertama baca Qur'an dan maknanya, yang kedua sholat malam dirikanlah, yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh, yang keempat perbanyaklah berpuasa, yang kelima dzikir malam perpanjanglah, Salah satunya siapa bisa menjalani, semoga Allah mencukupi.".
Dari semua lirik tersebut, yang paling mengobati rasa sakit dan hampa dihatiku adalah berkumpul dengan orang saleh. Meneer Karim, Kak Muhamed, Kak Ilya, Kak Lodewijk, Tuan Wisnu, Kak Tantri. Mereka semua mungkin bukanlah muslim yang terbaik, tapi setidaknya kehadiran mereka di hidupku, menuntunku untuk mengenal lebih dekat apa dan bagaimana Islam yang sebenarnya serta jati diri dari Tuhan yang mereka sembah.