Antara Darah Dan Hati 2: Dream Reality Seri 4

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #6

Chapter 1 Bagian 5 Persiapan Rencana Menyelamatkan Ibu Pertiwi

Aku Tantri—sudah beberapa hari sejak pekerjaan sebagai pengawal pribadi Hare Hoogheid Sofia dimulai—jujur, bekerja menjadi pengawal pribadinya tidak begitu buruk. Beliau bukan seorang tuan yang memberatkanku yang merupakan pengawalnya.

Pada hari pertama bekerja, saat aku ingin memasak makanan untuknya atau sedang membersihkan rumah yang megah ini, beliau mengatakan bahwa aku tidak harus membersihkan rumah atau memasak. Baginya, tugasku cukup menjadi pengawal dan bukan pelayan. Meskipun begitu, rasanya tetap tidak pantas bagiku jika hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun di rumah megah ini, sedangkan orang tua beliau memberikan ku upah yang jumlahnya terbilang cukup besar. Jadi pada akhirnya, aku juga bekerja menjadi pelayannya.

Kendati begitu, seringkali ia membantu membersihkan rumah atau memasak makanan. Aku kira Hare Hoogheid Sofia adalah seseorang yang enggan melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, tapi ternyata perkiraanku salah. Lebih mengejutkan lagi—setiap waktu makan tiba, beliau selalu memintaku untuk duduk satu meja dengannya. Suatu hal yang bagiku tidak lumrah dilakukan oleh seorang bangsawan pada pelayannya.

Harus kuakui, kedua orang tua beserta mendiang Tuan Wisnu mendidiknya menjadi seorang gadis bangsawan yang anggun, ramah, dan rendah hati. Tidak heran masyarakat menyukainyia, tapi walau dia sosok yang terlihat ramah dan anggun, aku juga melihat sisi dirinya yang lain, sisi dirinya yang rapuh dan dipenuhi oleh kesedihan.

Pada suatu malam di minggu pertama aku bekerja di sini, beliau memintaku untuk diajari cara membaca Al-Quran yang benar serta bagaimana cara membaca bacaan salat dan doa yang baik. Khususnya bacaan doa untuk orang yang sudah meninggal, karena ia ingin mendoakan mendiang Tuan Wisnu supaya beliau dilindungi dari azab dan siksaan api neraka, serta mendapat izin-Nya untuk memasuki surga—menjadi salah satu penghuninya.

Aku memang bukan ahli Bahasa Arab, tapi aku mengajarinya semampuku. Setelah ia menjadi sedikit lebih pandai mengucapkan doa dalam Bahasa Arab dan membaca Al-Quran, aku selalu mendengar samar-samar isakan tangis dari kamarnya setiap waktu Isya tiba. Aku rasa, dia sangat menyayangi mendiang Tuan Wisnu dan merindukannya. Sama seperti aku yang belum bisa sepenuhnya menghilangkan kesedihan atas kematian ayahku.

Hari-hari terus berlalu, waktu malam pada hari Senin—minggu ketiga telah tiba. Selama menunggu Hare Hoogheid Sofia keluar dari kamarnya, aku mengutak-atik smartphone, membaca beberapa artikel berita yang sedang viral. Hingga kedua mataku tertuju pada sebuah artikel yang memiliki judul ‘Seluruh Mahasiswa di Berbagai Kota di Republik Indonesia Serikat akan Mengadakan Demonstrasi Besar-Besaran Untuk Menuntut Perdana Menteri Willem van Huizen Turun dari Jabatannya.’.

Aku membaca berita tersebut dan melihat bahwa salah satu organisasi yang akan turut ikut melaksanakan demonstrasi adalah mahasiswa dari Universitas Sucilangkung, tempat di mana tuanku menimba ilmu di bidang kedokteran.

Aku segera menghubungi Reis dan beberapa teman lainnya yang masih bekerja di Institusi Kepolisian, tapi yang keberpihakannya sama denganku. Aku bertanya pada mereka mengenai jenis pasukan keamanan apa yang akan diturunkan pada saat demonstrasi nanti—berlangsung, serta letak pasukan keamanan yang akan ditempatkan di kota ini.

Beberapa saat kemudian, mereka pun mengirimkan jawaban mengenai letak pasukan keamanan ditempatkan, serta jenis pasukan yang digunakan. Menurut rumor yang teman-teman dapatkan, pasukan yang akan diturunkan untuk mengamankan demonstrasi adalah Pasukan SSE—selain Pasukan Schutterij.

Aku yang membaca pesan yang mereka kirim tertegun, tidak kusangka pemerintahan yang masih dikuasai oleh Partai Neo-NSB akan bertindak sejauh ini untuk melawan rakyat yang ingin menumbangkan mereka.

Setelah mendapat informasi tersebut, aku mengucapkan terima kasih pada teman-teman. Setelahnya, aku berharap Hare Hoogheid Sofia segera datang ke ruang makan, karena aku ingin membicarakan hal ini padanya. Aku harus mencegahnya untuk datang menghadiri pelajaran di kampus—lusa nanti, karena khawatir akan keselamatan agar dia aman.

Setelah beberapa waktu berlalu, terlihat sosoknya berjalan menuruni tangga, menuju ruang makan. Ia duduk berhadapan denganku, lalu kami berdua membaca doa makan dan mulai mengambil nasi beserta lauk pauk yang telah dibuat bersama.

Saat ia mengambil salah satu lauk yang tersedia di meja makan, aku dapat melihat simpul senyuman kecil di bibirnya terbentuk. Lalu ia menghembuskan napasnya dan menaruh kembali piring yang berisi lauk tersebut di atas meja makan. Setelah dia meletakkan piring itu, aku melihatnya terdiam sambil menatap makanan yang berada di hadapannya untuk waktu yang cukup lama, jadi aku memanggilnya untuk membangunkan dari lamunannya.

"Hare Hoogheid[1], ayo dimakan, nanti keburu dingin makanannya."

"Oh—iya, Kak Tantri!" ujarnya menjawab panggilanku dengan nada gembira, lalu ia mengucapkan basmalah.

Aku penasaran mengenai apa yang dia pikirkan, sehingga berusaha untuk membuka percakapan saat aku telah selesai mengunyah dan menelan makanan.

Lihat selengkapnya