Antara Darah Dan Hati 2: Dream Reality Seri 4

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #10

Chapter 2 Bagian 3 Kami Hindia, Kami Indonesia!

Sepuluh hari telah berlalu sejak peretasan massal berbagai jaringan dan unggahan serentak berturut-turut di sosial media yang menyebarkan informasi terkait rencana busuk Partai Neo-NSB dalam meledakkan Gedung Regionaal Volksraad di berbagai kota RIS untuk memfitnah masyarakat muslim Indonesia yang berusaha taat melaksanakan ajaran agama.

Setelah masyarakat mengetahui bahwa kejadian tersebut bertujuan untuk menjinakan perlawanan masyarakat Indonesia pada partai dengan cara merenggut kebebasan masyarakat Indonesia untuk menggunakan simbol agama dan memakai pakaian seusai anjuran agamanya, akhirnya seluruh elemen masyarakat Indonesia secara spontan turun ke jalan melakukan demonstrasi massal selama tiga hari terakhir secara berturut-turut. Perlawanan yang masyarakat berikan sangat sengit sehingga aparat keamanan kewalahan dalam menghadapi lautan manusia yang terus berusaha melawan, setiap kali aparat keamanan berusaha memukul mundur lautan manusia tersebut.

Dari semua demonstrasi yang sedang berlangsung, demonstrasi yang paling menjadi perhatian media massa nasional dan internasional adalah demonstrasi yang sedang terjadi di Kota Jakarta. Banyak orang dari berbagai elemen masyarakat RIS—berbagai kota di Pulau Jawa yang turut ikut memenuhi jalan-jalan protokol Kota Jakarta untuk menuntut Perdana Menteri Willem van Huizen beserta kroni-kroninya turun dari jabatan.

Demonstrasi juga terjadi di Negeri Belanda yang mana berbagai komunitas muslim imigran turut mengikuti demonstrasi tersebut yang diadakan di depan Gedung Kedutaan RIS. Mereka menuntut hal yang sama seperti yang masyarakat muslim RIS inginkan sambil meneriakkan slogan-slogan yang diteriakan oleh masyarakat muslim RIS yang berbunyi, "kami Hindia, kami Indonesia!".

Pemerintah Belanda di Negeri Belanda juga turut menyatakan sikap mereka yang menentang segala tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah RIS dan menghimbau pada pemerintah RIS untuk segera memenuhi tuntutan masyarakat RIS sebelum kondisi Negeri RIS makin carut-marut. Namun, meskipun banyak tekanan sudah diberikan, Perdana Menteri Willem van Huizen beserta kroni-kroninya masih belum memberikan pernyataan resmi apapun mengenai, apakah mereka bersedia untuk memenuhi tuntutan masyarakat RIS atau tidak. Sehingga berbagai organisasi dan lembaga masyarakat Indonesia mengajak masyarakat untuk terus melakukan demonstrasi di depan Gedung Algemene Volksraad[1] Jakarta hingga Perdana Menteri Willem van Huizen beserta kroni-kroninya memenuhi tuntutan masyarakat RIS untuk turun dari jabatan mereka dan partai Neo-NSB dibubarkan.

Pada malam hari ini suasana di dalam kereta menuju Jakarta dipadati oleh penumpang berbagai elemen masyarakat dari Kota Sucilangkung yang berbondong-bondong pergi ke Kota Jakarta untuk turut memenuhi ajakan untuk melakukan demonstrasi di depan Gedung Algemene Volksraad dan juga di depan gedung tempat Perdana Menteri tinggal. Aku bersama Kak Lodewijk termasuk di antara mereka yang turut berangkat ke Kota Jakarta untuk memenuhi ajakan tersebut.

Aku Muhamed—bersama Kak Lodewijk berangkat menggunakan kereta malam. Kami berangkat pada pukul sembilan malam. Sebelum berangkat, kami berdua memberikan kunjungan pada Karim, Sofia, serta Kak Tantri yang masih dirawat di rumah sakit dikarenakan masih belum pulih dari pemukulan yang mereka alami.

Aku menjenguk Karim untuk meminta doa dan izin darinya serta bibiku. Sedangkan Paman sudah mengizinkanku untuk mengikuti demonstrasi, karena beliau ingin melihat orang-orang yang telah berbuat keji pada anaknya mendapatkan balasan untuk segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Namun bibiku yang sedang berada di kamar rawat inap untuk menemani anaknya hingga pulih, sempat tidak mengizinkanku. Demikian pula Karim yang juga dengan lemas dan sedikit menitikkan air mata turut menyatakan hal yang sama.

Ia dan bibi ingin—agar aku tetap berada di sini, karena mereka berdua tidak ingin aku terluka atau berada dalam bahaya lagi. Bagi mereka berdua, apa yang sudah kulakukan untuk membela sepupuku agar terbebas dari kurungan penjara karena fitnah yang menimpanya, sudah lebih dari cukup. Tapi bagiku itu semua masih belum cukup. Sama seperti paman, aku juga ingin melihat orang-orang yang telah berbuat keji pada diriku dan sepupuku mendapatkan balasan yang setimpal untuk perbuatan yang telah mereka lakukan.

Pada akhirnya, dengan berat hati mereka berdua memberikan izin agar aku dapat mengikuti demonstrasi yang diadakan di Kota Jakarta, walau harus mengiringinya dengan sedikit isakan tangis. Aku paham kenapa mereka menginginkan agar aku tetap berada di sini, mungkin sama seperti kembarannya Kak Lodewijk yang meninggal akibat melindungi saudaranya, aku juga ingin melakukan hal yang sama. Aku tidak ingin melihat keluarga atau teman-teman yang tinggal di sini terus-menerus dicelakai dan menderita akibat ditindas oleh orang-orang jahat yang sedang menguasai pemerintahan ini.

Setelah menjenguk Karim, aku bersama Kak Lodewijk menjenguk Kak Tantri. Saat Kak Lodewijk datang dan memberitahu Kak Tantri mengenai dirinya akan turut melakukan demonstrasi di depan Gedung Algemene Volksraad Jakarta, ia sempat protes dengan nada paraunya memohon kepada Kak Lodewijk untuk tetap tinggal.

"Jangan Lodewijk, jangan ngelakuin hal bodoh, tetep di sini. Aku enggak mau kamu celaka dan ngalamin apa yang aku alamin."

"Tantri, aku ngerti alesan kenapa kamu enggak mau aku pergi. Tapi kalau aku enggak temenin Muhamed, siapa yang bakal bawa badannya yang cidera kalau dia kena pukul atau kena tembak? Lagian juga, Muhamed udah banyak berkorban buat keselamatanku, karena dia kan, yang ngemudiin mobil ambulans yang jadi kendaraan buat mindahin tubuhku ke rumah sakit lain—waktu aku lagi koma karena disiksa sama SSE. Aku punya hutang budi yang harus dibayar ke dia. Mendiang ayahmu juga minta aku sebagai seniornya Muhamed buat jagain Muhamed.—

—Ya Tantri, mungkin apa yang aku lakuin ini bodoh, dan mungkin kalau saudara kembarku masih idup dia bakal bilang hal yang sama. Tapi kamu tau? Ik denk dat, ik best wel dom ben[2] ujar Kak Lodewijk sambil menunjukkan senyumnya pada Kak Tantri.

Aku dapat melihat kedua mata Kak Tantri mulai berkaca-kaca dan menitikkan beberapa tetes air mata, kemudian dia memejamkan kedua matanya dan tidak membukanya kembali. Seolah-olah memberikan jawaban bahwa ia ingin melihat kami berdua segera keluar dari kamar tempatnya dirawat.

Kami segera meninggalkannya, pergi dari rumah sakit dan langsung berangkat menuju stasiun kereta Kota Sucilangkung. Hingga kami berada di sini, di dalam kereta menuju suatu tempat yang akan menjadi penentu hasil akhir dari segala perlawanan yang selama ini kami berikan kepada tirani penindas tersebut.

Perjalanan dari Kota Sucilangkung menuju Kota Jakarta memakan waktu sekitar 3 Jam. Kami sampai di Jakarta pukul 1 pagi dan menginap di salah satu masjid—lokasinya cukup jauh dari Gedung Algemene Volksraad, karena masjid-masjid yang berada di wilayah Gedung Algemene Volksraad sudah dipenuhi oleh orang-orang yang juga datang dari luar Kota Jakarta.

Di dalam masjid, sebelum kami berdua tidur, kami melaksanakan salat tahajud, memohon perlindungan Allah agar Dia berkehendak untuk melindungi kami dan demonstran lainnya. Dilindungi dari segala marabahaya dan meminta agar Dia berkehendak untuk memberikan pertolongannya supaya perlawanan yang kami lakukan terhadap rezim pemerintahan yang dipenuhi oleh tirani ini berhasil.

Saat fajar tiba, kamu bersama orang-orang lainnya melaksanakan salat subuh berjamaah kemudian berdoa bersama imam masjid, memohon agar perjuangan ini membuahkan keberhasilan. Setelah melaksanakan salat subuh, aku dan Kak Lodewijk berjalan menuju wilayah jalanan yang berada di depan pintu gerbang Gedung Algemene Volksraad Kota Jakarta.

Barisan depan demonstran yang berada di depan pintu gerbang memasuki Gedung Algemene Volksraad—hampir penuh. Tapi aku dan Kak Lodewijk berhasil menjadi bagian orang-orang yang berada di barisan depan, barisan yang orang-orangnya paling rawan terkena luka-luka dan bahkan kehilangan nyawa akibat dipukuli dan ditembaki oleh Pasukan Schutterij yang sudah berjaga di depan kami, beserta kendaraan baja ringan yang moncong laras meriam gas air matanya sudah di arahkan ke depan barisan demonstran. Bersiap untuk menembaki kami dengan bom gas air mata secara bertubi-tubi saat perintah untuk menembaki telah diberikan oleh atasan mereka.

Pukul sembilan pagi telah tiba, menurut berita yang diunggah dan diedarkan oleh media massa nasional di internet, massa demonstran yang terlihat seperti lautan manusia telah memenuhi berbagai ruas-ruas jalan utama Kota Jakarta yang berada di wilayah Gedung Algemene Volksraad dan Istana tempat Perdana Menteri tinggal. Berbagai kata-kata berisi penyemangat untuk kami terus menerus digaungkan, kemudian para koordinator demonstrasi meminta agar beberapa orang mau maju menjadi sukarelawan untuk berpidato di depan—mengeluarkan seluruh keluhan dan tuntutan yang mereka miliki.

Aku menarik napas dan menghembuskannya, lalu mengacungkan tangan. Koordinator demonstrasi memberikan gestur mengayunkan pergelangan tangan kanannya ke arah tempat aku berdiri, memintaku berpidato di hadapan demonstran dan Aparat Schutterij yang sedang menjaga Gedung Algemene Volksraad.

Aku melangkahkan kaki kanan ke depan yang, kemudian diikuti oleh kaki kiri. Berjalan keluar dari barisan demonstran menuju tempat sang koordinator demonstrasi berdiri. Sang koordinator memberikan loud speaker-nya, setelah itu aku kembali menarik napas dan mulai berbicara.

"Saudara-saudari yang saya hormati. Sebenarnya bukan saya yang seharusnya berdiri di depan kalian semua untuk menyampaikan ini. Saya bukan orang Indonesia atau orang Belanda yang lahir di Indonesia seperti kebanyakan teman-teman saya yang biasa saya ajak berinteraksi dengan di sini.—

—Saya seorang Bosnia, keturunan dari pasangan suami-istri dari Negeri Bosnia yang meninggalkan negara asal mereka dan menetap di berbagai tempat, termasuk di Indonesia dan Belanda dan kalian tahu? Saya kagum dengan kalian semua.—

—Di negara tempat orang tua saya dulu tinggal banyak etnis yang berbicara menggunakan bahasa yang sama, tapi kami berperang satu sama lain. Pada masa perang tersebut, beberapa etnis di negara tempat orang tua saya dulu tinggal, mencoba menindas etnis lain. Hingga akhirnya menyebabkan perang yang sangat merusak dan menyebabkan etnis saya dibantai, negara asal tempat orang tua saya menjadi hancur dan meninggalkan bekas luka yang mungkin akan memakan waktu lama untuk disembuhkan. Tapi di sini berbeda.—

—Kalian semua… entah yang memiliki warna kulit putih, coklat, kuning berdiri di depan Gedung Algemene Volksraad Kota Jakarta untuk mencegah mereka yang sedang berkuasa memecah kalian dan tidak ada di sini merasa lebih unggul dari yang lain.—

—Kalian orang Indonesia beruntung, semua berasal dari berbagai suku dan etnis yang berbicara dengan bahasa berbeda. Memiliki adat istiadat dan budaya yang berbeda, tapi kalian bersedia mengesampingkan perbedaan itu untuk mencegah kekacauan menimpa negara tercinta ini.—

—Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya katakan kepada kalian semua. Saya tidak pandai dalam memberi nasehat dan ditambah saya bukan Orang Indonesia. Jadi saya pun tidak tahu, apakah saya berhak menyampaikan pidato di depan kalian? Tapi jika kalian bertanya kepada saya, mengenai apa yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua, saya hanya ingin mengatakan satu hal.—

—Saya harap kalian mengingat hari ini sebagai pelajaran yang tidak akan terlupakan. Saya harap kalian mengingat hari ini untuk menjaga persaudaraan yang telah kita ciptakan. Tolong ajari anak-anak kalian bahwa, Tuhan hanya melihat melalui perbuatan dan tindakan kalian sendiri. Untuk kaum muslimin di sini, saya harap kalian ingat bahwa Rasulullah pernah berkata, "orang Arab tidak lebih unggul dari orang non-Arab.". Artinya, tidak ada ras atau suku yang lebih unggul dari yang lain. Sehingga kalian semua selalu ingat untuk memerangi ketidakadilan ketika sebuah ras, etnis atau orang yang menganut agama yang sama dengan kalian, mencoba menindas kita semua. Untuk para Aparat Schutterij terhormat yang sedang berdiri di hadapan saya dan saudara-saudari hari ini, saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada kalian semua.—

—Kenapa kalian rela berdiri di sini dengan senjata-senjata yang akan digunakan untuk melawan kami dan memilih untuk membela pihak yang menindas rakyat, saudara-saudari kalian?—

—Apakah kalian ingin menghancurkan negeri ini, menjadi seperti yang telah terjadi pada negeri yang pernah menjadi tempat kedua orang tua saya tinggal?—

—Wahai Aparat Schutterij, kami semua bukan pemberontak, kami bukan pengacau! Kami hanya ingin tirani yang menindas segera berakhir. Tapi kenapa kalian semua, terutama Aarat Schutterij yang berasal dari kalangan pribumi merasa ringan membela pihak-pihak yang sedang menindas saudara-saudari kita?!—

—Bagaimana perasaan kalian jika mengetahui bahwa di antara orang-orang yang kalian tembaki dan pukuli, adalah orang-orang yang merupakan keluarga kalian seperti, anak-anak, istri, kakak, atau adik?!—

Lihat selengkapnya