Aku Karim, sudah sekitar dua setengah tahun aku dan Sofia tidak bertemu secara fisik, tapi kami masih cukup sering berbincang-bincang melalui sosial media. Alasan kami tak pernah bertemu secara fisik adalah untuk menjaga diri agar orang-orang tidak berpikir bahwa kami sedang berpacaran atau memiliki hubungan percintaan di luar pernikahan yang mana hal tersebut dilarang dalam agama.
Walau kami jarang bertemu dan bertatap muka, setiap dua bulan sekali, rumahku mendapat kunjungan dari orang tuanya Sofia. Dalam kunjungan yang mereka berikan, mereka sering membawa bingkisan dan buah-buahan.
Membawa bingkisan berisi makanan dan buah-buahan ke rumah orang yang dikunjungi bukanlah budaya orang Belanda, tapi sepertinya orang tuanya Sofia sedang berusaha untuk menghargai budaya orang Indonesia dan meluluhkan hati kedua orang tuaku—terutama ibu.
Awal mereka datang ke rumahku suasananya cukup canggung, terutama untuk Ibuku. Saat pertama kali mereka datang, ibuku memasak berbagai jenis makanan untuk menjamu mereka dan masakan tersebut sebanyak saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Kala orang tuanya Sofia diajak oleh kedua orang tuaku untuk duduk di kursi-kursi yang ada di dekat meja makan dan menikmati hidangan makan malam, ayah dan ibuku sikapnya terlihat sangat tegang dan menjadi kaku. Terutama saat kedua orang tuanya Sofia mulai mencicipi setiap makanan yang tersaji.
Yah, aku rasa ibuku merasa takut dan khawatir kalau ayahnya Sofia takkan menyukai makanan yang beliau buat, karena beliau tidak tahu makanan apa yang orang Belanda sukai. Beliau hanya tahu cara membuat makanan orang Bosnia dan Indonesia.
Setelah mereka mencicipi semua makanan yang tersaji, ayahnya Sofia buka suara dan memulai percakapan. Dia mengucapkan terima kasih pada ibu dan ayahku karena telah repot-repot membuat semua makanan tersebut. Dia juga mengatakan pada ayah dan ibu bahwa saat mereka memberikan kunjungan di lain hari, orang tuaku tidak harus memasak makanan sebanyak itu, karena ia dan istrinya tidak dapat menghabiskan semua makanan yang tersaji. Lalu ia berkata pada kami bahwa, ia dan istrinya hanya manusia yang punya satu perut dan bukan seekor sapi yang punya empat perut.
Suara tawaku dan ayah beserta kedua orang tuanya Sofia pecah memenuhi seluruh ruangan makan, akibat guyonan yang ayahnya Sofia lontarkan. Kemudian, kedua orang tuanya Sofia mulai membuka pembicaraan dan memperbincangkan banyak hal dengan kedua orang tuaku. Terutama terkait latar belakang budaya ayahku yang orang Sunda dan ibuku yang orang Bosnia, serta mengenai makanan yang tersaji di atas meja yang terdiri dari berbagai jenis makanan khas orang Sunda dan Bosnia juga proses pembuatannya.
Selain itu, kedua orang tuanya Sofia juga meminta untuk diajari oleh kedua orang tuaku sedikit kosa kata sehari-hari yang digunakan oleh orang Sunda dan orang Bosnia, ayahku mengajarkan orang tuanya Sofia kosa kata sehari-hari yang biasa kami gunakan, serta pembelit lidah dalam kedua bahasa tersebut. Seperti ’gore gore gore gore’, pembelit lidah dalam bahasa Bosnia yang artinya ‘di atas sana kebakaran gunung bertambah buruk’ atau ’laleur mapay areuy’, kalimat pembelit lidah dalam bahasa Sunda yang berarti ‘lalat terbang menyusuri tanaman rambat’.
Saat itu, aku dapat dengan jelas melihat ibuku tersenyum saat melihat kedua orang tuanya Sofia dengan susah payah berusaha mengucapkan kalimat-kalimat pembelit lidah tersebut. Aku rasa ibuku tergelitik karena melihat tingkah mereka. Pada saat itu, aku yang melihat kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya Sofia tampak akur—turut merasakan bahagia dan kehangatan. Tapi saat jarum jam menunjukan bahwa malam sudah larut, kedua orang tuanya Sofia izin pamit dari rumahku untuk pulang kembali ke kediaman mereka.
Dua bulan berikutnya, kedua orang tuanya Sofia kembali mengunjungi rumah keluargaku dan itu terus mereka lakukan setiap dua bulan sekali. Sofia memberitahu bahwa kedua orang tuanya melakukan hal tersebut karena selain ingin mengenal kedua orang tuaku, mereka berdua ingin mencoba mengobati trauma yang ibuku alami akibat pengalaman buruk yang pernah ia derita saat perang Bosnia berkecamuk. Perlahan, aku melihat ibuku yang tadinya irit bicara pada kedua orang tuanya Sofia mulai sedikit lebih terbuka dan terkadang turut ikut berbincang dalam topik pembicaraan yang ayahku dan kedua orang tuanya Sofia sedang bahas.