Antara Darah Dan Hati 2: Dream Reality Seri 4

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #17

Chapter 3 Bagian 6 Menghadiri Jamuan Makan Malam Di Istana Raja

Esok hari telah tiba, Aku Karim—beserta keluargaku mempersiapkan diri untuk menghadiri perjamuan makan malam di Istana Het Loo. Setelah mandi, aku memakai baju formal seperti kemeja putih lengan panjang, jas, dan celana bahan berwarna hitam, sepatu pantofel hitam dan dasi panjang berwarna senada. Setelan baju formal yang ayah kenakan kurang lebih sama denganku, hanya saja warna setelan pakaian yang dia kenakan berwarna biru, sedangkan ibuku memakai jilbab putih yang menutup sampai dada dan abaya yang warnanya didominasi oleh warna merah marun.

Setelah selesai mempersiapkan diri, kami semua keluar dari kamar hotel, turun menuju lantai dasar dengan menggunakan lift bersama kedua pengawal Paduka Raja Belanda yang selalu menemani. Sesampainya di lantai bawah, kami melihat keluarga Muhamed sedang duduk di sofa yang terdapat di lobi hotel. Kami menyapa dan bersalaman, setelah sedikit berbasa basi, kami pun segera pergi menuju pintu keluar masuk hotel.

Saat berada di luar hotel, kami melihat mobil Limosin berwarna putih yang sedang berjalan lambat berhenti di depan pintu masuk hotel. Salah satu pengawal Paduka Raja Belanda yang berjalan bersama kami bersegera mempercepat langkah kakinya menuju mobil tersebut dan membukakan pintunya untuk kami. Kami segera berjalan menuju mobil dan masuk ke dalamnya tanpa menghiraukan berbagai sorot pandangan mata orang-orang yang perhatiannya teralihkan ke arah kami.

Mobil segera berjalan menuju Istana Het Loo yang jaraknya dekat dari hotel. Alasan kenapa kami dijemput menggunakan mobil limosin adalah, karena kami akan masuk lewat pintu gerbang utama yang biasanya dikunci dan hanya dibuka saat tamu penting untuk kerajaan Belanda datang berkunjung.

Mobil Limosin terus melaju dengan kecepatan sedang hingga setelah beberapa menit berlalu, mobil berhenti di bagian istana yang menurut penuturan Hare Hoogheid Sofia ditutup untuk umum dan hanya dapat digunakan oleh keluarga raja yang tinggal di Istana ini. Aku bersama kedua orang tuaku dan keluarganya Muhamed turun dari mobil, setelah pintu mobil Limosin dibuka oleh salah satu pengawal penjaga istana.

Kedua pengawal Yang Mulia Raja Belanda meminta kami untuk berjalan mengikuti mereka, menuju ruang makan istana yang digunakan untuk perjamuan makan malam hari ini. Saat hampir sampai berada di depan pintu masuk ruang makan, pengawal mengantar kami ke hadapan Hare Hoogheid Sofia beserta keluarganya. Kedua orang tua Hare Hoogheid Sofia beserta dirinya sedang membelakangi kami karena mereka sedang berbincang dengan beberapa orang lain sehingga sang pengawal berjalan mendekati ayahnya Hare Hoogheid Sofia dan memberi tahu beliau bahwa kami sudah datang.

"Excuseer me, mijn hoogheid[1] keluarga besar Meneer Karim sudah berada di sini," ujarnya.

"Oh? Ah, ya! Terima kasih untuk pemberitahuannya," ujar ayahnya Sofia dengan bersemangat, kemudian sang pengawal izin permisi dan segera pergi dari hadapan kami semua.

Hare Hoogheid Sofia dan orang tuanya segera membalikkan tubuh, lalu melangkahkan kaki mereka mendekati kami. Kemudian kami saling bersalaman, tapi saat keluargaku akan bersalaman dengan orang-orang yang berbeda jenis kelamin dari kami keluarganya Sofia, kami segera merapatkan tangan dan memberi salam ala orang Indonesia. Aku dapat melihat raut wajah mereka yang terkejut saat kami melakukan itu. Namun setelah selesai bersalaman pamanku yang merupakan orang Bosnia segera memberi penjelasan secara singkat kepada keluarganya Hare Hoogheid Sofia, mengenai kenapa kami enggan berjabat tangan dengan orang-orang yang jenis kelaminnya berbeda.

"Mohon maaf tuan-tuan dan nyonya-nyonya, karena membuat Anda terkejut—saat Anda menyodorkan tangan untuk menjabat tangan kami, kami malah merapatkan tangan dan memberikan gestur salam ala orang Indonesia.—

—Alasan kami semua melakukan hal tersebut adalah, sebagai seorang Muslim dalam agama kami, kami dilarang menyentuh kulit seseorang yang berbeda jenis kelamin, kecuali jika mereka adalah orang-orang yang merupakan mahram kami, yaitu jenis orang-orang yang di dalam kitab suci disebut boleh menyentuh kulit kami. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori orang yang disebut sebagai mahram di antaranya adalah keluarga kami, suami atau istri kami.—

—Iya, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Saya, istri saya, anak saya, dan adik saya memang orang Eropa berkulit putih. Sama seperti Anda, tapi kami semua tetaplah seorang Muslim dan kami ingin taat mengikuti aturan yang tertera dalam kitab suci agama. Saya harap Anda semua maklum dengan perbedaan yang terdapat di antara kita dan bisa menerima perbedaan tersebut serta berusaha untuk memahami mengenai alasan kenapa kami melakukan ini."

Mereka semua tersenyum mengangguk kemudian mengucapkan terima kasih karena telah memberi tahu alasan mengenai kenapa kami enggan menjabat tangan orang-orang yang berbeda jenis kelamin yang berasal dari keluarganya Sofia dan mereka minta untuk diajari gestur memberi salam ala orang Indonesia yang baik dan benar.

Ayahku segera buka suara dan mengajari mereka cara melakukan gestur salam ala orang Indonesia, kemudian mereka meminta kami untuk mengulang perkenalan antara keluargaku dan beberapa anggota keluarga besarnya Hare Hoogheid Sofia yang sebelumnya mengobrol bersama dengan kedua orang tuanya.

Kami semua saling berkenalan dan mengobrol terkait latar belakang budaya, khususnya mengenai apakah ada perbedaan antara praktik Umat Islam di Bosnia dan di Indonesia. Kami semua saling berbincang-bincang dan menjawab pertanyaan dari mereka. Percakapan yang kami lakukan cukup membuatku dapat mengabaikan lamanya waktu berjalan hingga pada akhirnya, waktu perjamuan makan malam telah tiba dan Yang Mulia Paduka Raja Belanda beserta istri dan anak-anaknya telah tiba di depan ruang makan Istana.

Semua orang yang dilewati Yang Mulia Raja Belanda segera memberikan gestur membungkuk—baik pria maupun wanita, termasuk aku sekeluarga. Hanya ayahnya Sofia yang tetap berdiri tegap di hadapan sang Raja.

Sang Raja menyodorkan tangannya ke depan ayahnya Sofia, kemudian ayahnya Sofia meraih tangannya dan menjabat tangan saudaranya. Hening masih memenuhi suasana ruangan tempat kami semua berdiri, kemudian Yang Mulia Raja Belanda membuka memecah keheningan tersebut.

"Goede avond, mijn klein broertje[2]. Maaf aku sampai ke sini memakan waktu agak lama. Yah, kamu taulah, ada pekerjaan yang harus aku selesein dan protokol kerajaan yang harus diikuti."

"Iya, Kak. Aku paham, enggak apa-apa," ujar ayahnya Hare Hoogheid Sofia memberikan jawaban.

Ia kemudian memutar tubuhnya dan melangkahkan kaki menghampiri keluargaku. Melihat sosok Paduka Raja Belanda berjalan mendekat, membuatku tegang dan merasa gugup. Jantung berdebar-debar saat melihat sosoknya benar-benar berada di hadapanku secara fisik. Perasaan campur aduk saat berada di hadapannya, aku merasa takut bahwa dia akan menganggapku rendah karena warna kulit atau karena aku salah bersikap di hadapannya.

Ia menatap kami sejenak, sorot mata birunya yang terlihat fokus dan ekspresinya yang datar itu seolah-olah seperti sedang memberikan penilaian pada kami. Kemudian ia semakin mendekat dan raut wajahnya yang tadi datar tiba-tiba berubah menjadi raut senyuman”

"Selamat datang di Istana Het Loo, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Saya mohon maaf, karena sepertinya keberadaan saya cukup membuat Anda semua merasa tegang dan gugup. Saya harap, semua merasa nyaman dan merasa seperti berada di rumah sendiri selama berada di kota ini dan saya harap, Anda semua dapat merasa nyaman selama berada di istana ini.—

—Sebelum acara makan malam ini dimulai, saya harap Anda semua berkenan untuk berkenalan dengan saya, istri saya beserta putra dan kedua putri saya, karena seperti pepatah yang dikatakan orang Indonesia, ‘tak kenal maka tak sayang’ dan saya ingin mengenal kalian supaya saya dapat belajar untuk menyayangi kalian yang akan menjadi bagian dari keluarga besar saya."

Ia dan anggota keluarganya menjabat tangan anggota keluarga kami sambil memperkenalkan diri mereka. Tapi kejadian menolak berjabat tangan dengan lawan jenis, harus kembali dijelaskan lagi oleh pamanku. Semua dijelaskan pada Paduka Raja Belanda dan keluarganya mengenai aturan yang terdapat di dalam kitab suci kami bahwa sebagai seorang muslim tidak boleh menyentuh kulit orang yang berbeda jenis kelamin dari kami beserta pengecualiannya.

Yang Mulia Raja Belanda beserta keluarganya paham dan memohon maaf atas ketidaktahuan mengenai aturan yang terdapat dalam agama kami. Kemudian ia meminta ayahku yang orang Indonesia untuk mengajarkan dia sekeluarga cara orang Indonesia memberi gestur salam dan meminta agar keluarganya dengan keluarga kami bersedia untuk mengulang pemberian sapaan salam dari awal. Setelah kami selesai mengulang pemberian sapaan salam, ia mengubah posisi tubuhnya untuk menghadapku.

"Jadi, Anda ya—yang bernama Karim Dawala Sokolović?"

"Iya, benar Yang Mulia," ujarku menjawab pertanyaannya.

"Hare Koninklijk Hoogheid Sofia[3] selalu terlihat bersemangat dan terkadang wajahnya tersipu malu saat ia bercerita mengenai Anda, ketika saya memintanya untuk bercerita mengenai Anda. Dia menjuluki Anda Morien[4]. Ia juga sering memperlihatkan gambar yang Anda buat untuk dirinya dan sangat mengagumi kemampuan Anda dalam menggambar figur dirinya. Anda pasti seorang calon seniman hebat," ujarnya.

"Terima kasih Yang Mulia untuk pujiannya. Saya harap apa yang Yang Mulia katakan adalah sesuatu yang benar-benar terdapat dalam diri saya dan bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan yang dapat menutupi kekurangan dalam bidang yang saya tekuni," ujarku membalas ujaran pujian yang ia utarakan.

"Sama-sama. Baiklah, saya rasa sudah cukup basa-basinya. Saya yakin Anda dan keluarga sudah merasa sangat lapar ‘kan?" tanyanya.

"Iya, Yang Mulia," jawabku.

Lihat selengkapnya