Antara Darah Dan Hati 2: Dream Reality Seri 4

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #20

Chapter 4 Bagian 3 Mimpi Buruk Di Luar Nalar

Di mana aku? Kenapa ketika membuka kedua mata, samar-samar melihat cahaya merah berpendar tumbuh, menyusut. Terasa seperti tubuhku menyentuh permukaan batu berpasir?

Mungkinkah mimpi itu lagi? Mimpi buruk yang sering aku alami ketika dikurung di balik jeruji besi penjara—di mana aku Karim—harus melawan berbagai jenis makhluk aneh yang mencoba membunuhku di arena yang dikelilingi oleh dinding api—penghalang agar aku tidak bisa keluar dari mimpi ini. Aku diharuskan membunuh semua monster tersebut agar aku bisa bangun dari mimpi ini.

Sial, aku benci mimpi ini! Tapi jika aku tidak berdiri untuk melawan monster dan makhluk aneh yang menyerang, maka aku akan terus terjebak di dalam mimpi, sampai aku berhasil membunuh seluruh monster yang ada. Sepertinya tidak ada jalan lain, aku tidak bisa berlama-lama di sini, aku harus memenangkan pertarungan atau akan terus terjebak.

Di mana Kujang yang sering aku gunakan sebagai senjata melawan monster tersebut? Kujang itu seharusnya tergeletak beberapa jengkal dari kepalaku yang masih tergeletak di tanah. Aku mengangkat dan menengadahkan kepala agar mata bisa melihat apakah kujang yang biasa digunakan masih tergeletak tepat di depan kepalaku atau tidak? Ternyata memang benar kujang itu masih tergeletak di sana.

Aku mencoba meraih dan menggenggam gagang Kujang tersebut dengan susah payah. Kemudian setelah Kujang tergenggam erat, aku berusaha bangun—berdiri dengan segenap tenaga yang dimiliki, meskipun aku bisa merasakan tubuh dalam keadaan lemah. Diarenakan saat beranjak berdiri, tubuhku tergontai kesana-kemari seperti sehelai daun yang melayang ke berbagai arah akibat angin yang menerpanya.

Ketika aku hampir dalam posisi berdiri tegap, kedua mata yang masih sayu dapat melihat samar-samar kepulan asap hitam berkumpul di depanku. Kemudian dari balik kepulan asap itu, aku bisa melihat sesosok manusia berlari ke arahku, melompat, dan menendang kepalaku. Tendangannya cukup keras hingga membuatku yang masih berusaha mengumpulkan kesadaran terhempas beberapa langkah dari tempat berdiri dan jatuh kembali ke atas tanah.

Hah, rasa apa ini? Kenapa aku merasakan rasa yang sangat tidak nyaman hinggap di kepala, merasakan dunia di sekitar berputar dan bergetar? Oh ya, mungkin ini yang dinamakan sebagai sakit kepala dan pusing. Aku baru ingat bahwa dalam mimpi buruk ini, aku dapat merasakan apa yang orang-orang di sekitarku sebut sebagai rasa sakit.

Aku melihat samar-samar sosok manusia yang menendang tadi, dia berjalan mendekat mengambil Kujang yang sebelumnya ada di genggamanku dari tanah. Aku yang kesadarannya telah terkumpul sepenuhnya, melihatnya melakukan itu—segera bangkit berdiri dan memasang kuda-kuda. Sementara dia dengan pedang di genggaman tangan kanannya dan Kujang di genggaman tangan kiri, berlari menerjang—mengayunkan Kujang dan pedang secara membabi-buta ke tubuhku, terutama bagian tubuh vital seperti kepala, leher, dada, perut, paha, dan betis.

Aku mencoba menghindari serangannya itu seperti seorang penari yang sedang kesurupan, bergerak dan melompat kesana kemari sambil mencari celah untuk menyerang balik, serta merebut Kujang kembali. Sialnya, aku tidak memegang senjata apa pun. Apa yang dapat aku lakukan untuk mengalihkan perhatiannya?

Oh ya, aku baru ingat dalam mimpi ini, aku selalu mengenakan kain Bengker yang terikat di kepalaku. Kain Bengker berukuran cukup besar dan aku tahu apa yang bisa dilakukan dengan kain itu untuk mematahkan serangan dan menghancurkan fokusnya. Semoga siasat yang akan aku lakukan berhasil, bismillah.

Aku mencoba melepaskan ikatan kain Bengker yang terikat di kepalaku sambil menghindari serangan tak berujung. Setelah berhasil melepaskan kain Bengker, aku langsung menghindari ayunan pedangnya yang berusaha menebas leherku dengan merunduk. Ketika kain Bengker yang ada dalam genggaman tangan kananku mencapai permukaan lantai batu kapur yang berpasir ini, aku langsung menyeret pasirnya. Mengibaskan kain itu ke wajahnya dengan harapan bulir-bulir pasir yang menempel di kain Bengker itu beterbangan ke wajahnya.

Lihat selengkapnya