Aku Tantri, bersama dengan penyidik yang menginterogasi diriku berjalan keluar dari dalam ruangan pengawas ruang interogasi.
Setelah berada di lorong, aku segera berpamitan dengan penyidik yang telah menginterogasi, karena aku ingin segera memberikan laporan pada Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim mengenai apa saja yang telah terjadi, serta mengenai nasib tragis yang menimpa seluruh pengawal yang ditugaskan untuk menjaga para aktor yang ditugaskan untuk berperan sebagai Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim dalam pesta perayaan pernikahan palsu mereka.
Aku harus pergi sekarang, karena saat memeriksa akun sosial media, aku melihat banyak orang-orang yang mengabarkan bahwa Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim telah tewas dibunuh saat konvoi mobil diserang oleh para teroris tersebut atau berita yang menyatakan bahwa mereka tewas saat villa yang menjadi tempat perayaan pesta pernikahan diadakan runtuh—akibat ledakan. Para awak media massa juga telah menulis berbagai artikel berita yang judul serta isinya adalah penggiringan opini publik, agar mereka percaya dengan kemungkinan terburuk yaitu Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim telah tewas akibat serangan yang para teroris tersebut lakukan.
Di lorong dekat pintu masuk gedung Kantor Polisi, aku duduk di kursi tunggu sambil menggenggam smartphone di tangan kanan, berpikir mengenai bagaimana caranya agar aku bisa pergi ke rumah yang menjadi tempat persembunyian Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim, dengan cara yang paling aman supaya kerahasiaan tempat persembunyian mereka tetap terjaga.
Aku tidak bisa pergi ke sana menggunakan mobil putih yang tadi digunakan, karena mobil tersebut disita oleh pihak kepolisian untuk digunakan sebagai salah satu barang bukti untuk tindak kejahatan yang dua orang teroris itu telah lakukan.
Aku tidak akan menggunakan taksi biasa maupun taksi online, karena aku tidak yakin pengemudi taksi yang mengantar dapat menjaga mulut atau jari jemarinya dari menyebarkan lokasi tempat Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim bersembunyi melalui lisan atau smartphone-nya.
Aku juga tidak mungkin meminjam kendaraan milik aparat kepolisian, karena yakin—bahwa masih ada polisi kotor yang akan memanfaatkan nasib yang sedang menimpaku.
Satu-satunya cara agar bisa pergi ke tempat persembunyian Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim adalah menghubungi Lodewijk dan berharap pada Allah bahwa Ia akan menggerakan hati Lodewijk, sehingga ia berkenan untuk menolong.
Aku membuka layar kunci smartphone, membuka aplikasi WhatsApp kemudian mengetik dan mengirim pesan padanya. Di bawah gambar profil dan nama WhatsApp-nya terdapat tulisan 'online' yang mengindikasikan bahwa aplikasi WhatsApp-nya dalam keadaan aktif, tidak ditutup.
Aku tidak memasukkan smartphone ke kantong celana yang dikenakan, menggenggam sembari terkadang menatap layarnya, berharap bahwa akan ada notifikasi berupa jawaban dari dirinya atas pesan yang telah aku kirim.
Lima belas menit berlalu, tapi dia masih belum menjawab walau di bawah nama kontak WhatsApp-nya masih terpampang tulisan 'online'. Aku yang sudah kehilangan kesabaran, mencoba menelpon dengan aplikasi yang sama.
Bunyi suara sambungan telepon dari smartphone terus menggema di telinga kanan, hingga bunyi suara sambungan telepon tersebut berhenti, menunjukkan bahwa ia tidak menjawab panggilan pertamaku.
Aku mencoba untuk yang kedua kalinya, tapi hasilnya masih sama. Perasaan kesal mulai muncul di sanubari. Aku mencoba untuk menelpon yang ketiga kalinya dan masih sama seperti sebelumnya. Sial, jika Lodewijk anak buahku sudah pasti akan aku marahi dan bentak habis-habisan, karena ia tidak menjawab panggilan pimpinannya dengan cekatan.
Aku tidak akan merasa kesal jika WhatsApp-nya tidak aktif, tapi tampilan di layar kontaknya masih terus ‘online’. Saat aku akan menelponnya untuk yang keempat kali, tiba-tiba smartphone bergetar dan tertulis bahwa terdapat panggilan video call masuk yang asalnya dari Lodewijk. Aku menekan tombol jawab dan melihat wajahnya, hal yang sama juga ia turut lakukan. Aku melihat ekspresi wajahnya terlihat serius, kemudian ia membuka percakapan.
"Apa Anda benar Tantri Annie Dekker?" tanyanya padaku.
"Iya, ini aku Tantri," jawabku padanya.
"Apa Anda beneran Tantri, saya gak yakin kalau ini beneran Tantri. Bisa aja Anda seseorang yang ngegunain teknologi deep fake buat nyamarin wajah dan Anda bukan Tantri, tapi seseorang yang ngambil smartphone-nya dari mayatnya dan ngegunain smartphone-nya buat mencelakai orang-orang yang punya hubungan sama orang yang Anda bunuh," ujarnya padaku.
"Lodewijk, ini aku beneran Tantri yang asli," ujarku membalas segala pernyataan yang ia tuduhkan.
"Kalau Anda beneran Tantri yang asli jawab pertanyaan ini! Makanan apa yang saya masak buat Tantri saat saya berkunjung ke rumahnya, setelah ia nantang saya buat masak makanan?" tanyanya, masih dengan menampilkan raut wajahnya yang serius dan penuh dengan kecurigaan.
"Kamu masakin aku sayur lodeh," jawabku sembari sedikit tersenyum.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan kedua, “Apa baju milik mendiang Pak Erwin yang pake?”
Pertanyaan konyol yang ia ajukan membuat wajahku serasa menunjukkan senyum yang lebih lebar hingga membuatku berusaha menutup mulutku dengan tangan kiriku karena suara tawaku sedikit keluar.
“Hihi, kamu pake gamis warna coklat punya mendiang ayahku yang panjangnya cuman bisa nutup sebagian pahamu sama celana bahan warna item yang panjangnya enggak nyampe batas mata kakimu,”
Setelah kedua pertanyaan itu aku jawab, aku melihat tampilan di layar video call WhatsApp berubah yang tadinya menunjukan wajah Lodewijk, tiba-tiba bergerak dan menampilkan warna abu-abu kehitaman dengan sedikit cahaya berwarna putih menyinari. Kemudian aku melihat ia menutup video call-nya.
Aku melihat masih terdapat tulisan 'online' di bawah nama WhatsApp-nya jadi aku mencoba untuk mengirimi Lodewijk pesan yang menanyakan; kenapa ia menutup video call—sembari terkadang mencoba untuk menelponnya, tapi ia tidak menjawab panggilan tersebut. Ia membuat pikiranku dipenuhi pertanyaan, terutama mengenai alasan ia tidak menjawab pesan maupun panggilan teleponku.
Setelah setengah jam aku berusaha menghubunginya lagi dengan menelpon, akhirnya ia mengirimkan pesan yang berisi pemberitahuan bahwa ia bersedia menjemput dan mengantarku ke lokasi di mana Hare Hoogheid Sofia dan Meneer Karim berada. Dia memintaku untuk mengirimkan lokasiku padanya.
Aku mengirim lokasiku padanya, hingga setelah empat puluh lima menit berlalu, aku mendapat panggilan telepon melalui aplikasi WhatsApp darinya. Ia menyapaku dengan ucapan salam, lalu memberitahu bahwa ia sudah sampai di jalanan yang berada di depan gedung kepolisian.
Aku berdiri dari kursi dan segera berjalan keluar dari kantor polisi menuju trotoar yang berada di depan gedung tersebut. Kemudian aku melihat jendela pintu depan sebuah mobil turun ke bawah—menunjukkan wajah seorang Lodewijk Engels, tersenyum tipis seraya memintaku untuk masuk.
"Ayo, masuk!" ujarnya.
"Aku di belakang, ya?" pintaku.
"Ya, terserah," jawabnya.
Aku membuka pintu kursi belakang mobil Lodewijk, masuk lalu menutupnya. Mobil Lodewijk kembali melaju, kemudian percakapan kembali terjadi di antara kami.
"Arahin ya, kita harus lewat jalan mana aja buat nyampe ke rumah yang jadi tempat persembunyiannya Hare Hoogheid Sofia sama Meneer Karim," pintanya padaku.
"Iya," ujarku mengabulkan permintaannya, kemudian bertanya mengenai kenapa ia sangat lama menjawab pesan dariku.
"Kamu kenapa lama jawab pesan WhatsApp dari aku?"
"Aku ngehubungin Ilya dulu, minta tolong ke dia buat meriksa apa bener smartphone kamu masih ada di genggaman tanganmu, dan Ilya coba ngeretas smartphone-mu dan ngeliat apa kamera depan smartphone-mu nunjukin wajahmu atau enggak. Dia ngasih tau aku kalau smartphone-mu, masih kamu pegang. Tapi aku masih belum percaya, jadi Ilya nyaranin aku buat pake fitur video call dan ngasih kamu satu pertanyaan yang cuman aku sama kamu tau jawabannya," ujarnya padaku menjelaskan.