Aku Tantri—pada akhirnya, setelah satu bulan berlalu semenjak aku dan Lodewijk memberikan hasil temuan mengenai keterlibatan pemilik Perusahaan LVDC & Telecom, B.V. kepada FIOD dan TCI, kami berdua serta Meneer Karim dan Hare Hoogheid Sofia dengan kedua keluarga mereka diminta untuk menghadiri sidang pengadilan untuk mengadili kejahatan yang telah dilakukan oleh Heer Pieter Cornelis de Graeff kepada masyarakat Republik Indonesia Serikat.
Sialnya, tepat dua puluh hari sebelum persidangan dimulai, dua teroris yang ditahan oleh pihak kepolisia yang seharusnya menjadi saksi kunci dari persidangan ini, tewas karena mereka menelan pil racun sianida yang diselundupkan ke dalam penjara. Mengenai bagaimana caranya pil sianida tersebut bisa diselundupkan, aku sendiri tidak mengetahuinya. Tapi sepertinya musuh kami benar-benar kompak dalam usaha untuk menutupi kejahatan mereka.
Untuk sekarang, satu-satunya harapan bahwa Heer Pieter Cornelis de Graeff akan dipidana dengan hukuman kurungan penjara adalah, jika hakim yang mengadili kasus ini di persidangan nanti merasa bahwa bukti-bukti yang kami miliki cukup untuk memberatkan Heer Pieter Cornelis de Graeff, sehingga ia dinilai pantas untuk mendapat hukuman tersebut.
Saat esok hari tiba, aku, Lodewijk bersama dengan keluarga besarnya Meneer Karim dan Hare Hoogheid Sofia datang ke Gedung Pengadilan Negeri Kota Sucilangkung untuk memberikan kesaksian kami pada sidang pengadilan terhadap Heer Pieter Cornelis de Graeff.
Saat sampai di depan pintu gedung pengadilan dan keluar dari dalam mobil yang mengantar kami, aku melihat banyak wartawan yang sudah berdiri menunggu kehadiran kami yang berusaha mendekati dan memberikan berbagai pertanyaan, membuat polisi yang ditugaskan untuk menjaga pintu masuk kewalahan menahan para wartawan yang mendorong-dorong mereka.
Kami semua tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan dan segera masuk ke gedung pengadilan, berjalan menuju ruang sidang, lalu duduk di bangku ruang persidangan yang letaknya berada di tengah—depan ruang persidangan.
Kami datang satu jam lebih awal, jadi kami harus menunggu sampai jadwal waktu persidangan tiba. Saat lima belas menit berlalu, aku melihat Heer Vinno Diederik de Graeff beserta seseorang yang tampaknya merupakan ayahnya dan pelayan pribadinya masuk ke dalam ruang sidang.
Pandangan mata kami dengannya saling bertemu saat ia sedikit menoleh dan melirik sinis, sedangkan pandangan mata sang ayah tetap fokus ke depan seolah-olah berusaha menganggap kami tidak ada di ruangan ini. Seketika kulitku merasa suhu yang ada di ruang sidang ini naik, seolah-olah memberitahuku bahwa harus siap siaga karena pertempuran kami dengan mereka akan segera dimulai.
Setengah jam berlalu, seluruh bangku yang diperuntukkan untuk para hadirin ruang persidangan sudah penuh. Kemudian, sosok Hakim Ketua bersama dengan Hakim Anggota berjalan masuk ke dalam. Seluruh hadirin sidang diminta oleh Panitera untuk berdiri.
"Pada hari Senin, tanggal 10 November 2025 sidang perkara pidana, rakyat Negara Bagian Jawa Barat melawan terdakwa Pieter Cornelis de Graeff siap dimulai. Majelis hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon berdiri!"
"Hadirin dipersilahkan duduk kembali!" ujar Panitera dengan lantang, kami semua kembali duduk.
"Apakah saudara Penasehat Hukum sudah siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim Ketua.
"Siap, Yang Mulia," jawab Setya Yunadi Novanto, pengacara yang akan membela Heer Pieter Cornelis de Graeff dalam sidang perkara pidana ini.
Hakim Ketua persidangan kali ini adalah seseorang yang bernama Lukman Baswedan, dua Anggota Hakim lainnya bernama Artidjo Alkostar dan Parman Soeparman, sedangkan Jaksa Penuntut umumnya adalah seorang Belanda bernama Stijn Ismail Ledegen. Dari namanya, sepertinya ia adalah seorang muslim. Mengenai dia seorang mualaf atau muslim sejak lahir, aku tidak mengetahuinya. Tapi andaikan dia seorang muslim, aku harap dia benar-benar seorang muslim yang teguh dan bukan seorang munafik.
Selain itu, ada satu orang lagi yang tidak memakai pakaian seragam hakim yang turut berjalan bersama para hakim, dia duduk di kursi yang ditempatkan di samping deretan kursi yang diperuntukan untuk Majelis Hakim.
Aku tidak tahu dia siapa, jadi aku bertanya pada Lodewijk mengenai identitas orang yang duduk di posisi tersebut.
"Lodewijk, orang yang enggak pake baju hakim dan duduk di kursi di samping deretan kursi buat Majelis Hakim itu siapa?"
"Oh, dia pasti psikiater—tentu saja. Pfft," ujar Lodewijk sambil berusaha menahan tawanya.
"Kenapa? Kayaknya kamu merhatiin kalau ada sesuatu yang salah di persidangan ini." tanyaku.
"Iyap, persidangan yang menghadirkan psikiater adalah persidangan yang diperuntukkan untuk seorang terdakwa yang punya gangguan kejiwaan, karena dalam sistem peradilan Republik Indonesia Serikat dan Negeri Belanda—andaikan seorang terdakwa memiliki gangguan kejiwaan, dia tetap harus disidang karena hanya Hakim yang dapat memberikan penilaian dan keputusan mengenai waras atau tidaknya seorang terdakwa. Kemungkinan besar, Heer Pieter udah nyiapin alibinya supaya bisa lolos dari jeratan hukum," ujar Lodewijk padaku memberikan penjelasan.
Ah—sekarang aku mengerti, seorang yang memiliki gangguan kejiwaan tidak akan dapat dipidana atas perbuatan kriminal yang telah ia lakukan, karena itulah Lodewijk berusaha menahan tawa kecutnya. Aku berharap semoga Stijn dapat membongkar alibi Heer Pieter dan membuktikan pada Hakim bahwa Heer Pieter hanya berpura-pura memiliki gangguan kejiwaan.
"Pada hari Senin, tanggal 10 November 2025, sidang pengadilan rakyat Negara Bagian Jawa Barat melawan terdakwa Pieter Cornelis de Graeff, saya nyatakan dibuka," ujar Hakim Ketua.
"Kepada saudara Jaksa Penuntut Umum harap menghadirkan terdakwa di muka sidang," pinta Hakim Ketua.
"Baik Majelis Hakim, terdakwa Pieter Cornelis de Graeff dipersilahkan memasuki ruang sidang!" ujar Jaksa Penuntut Hukum memberikan perintah.
Heer Pieter Cornelis de Graeff masuk ke dalam ruang sidang dan sedikit membungkuk pada Hakim Ketua—memberikan hormat, kemudian ia diminta duduk di kursi terdakwa yang berada di sebelah pengacaranya.
"Silahkan duduk di sebelah Penasehat Hukum Anda."
Kemudian Ketua Hakim menanyakan kabarnya. "Saudara terdakwa, apakah saudara dalam keadaan sehat?"
"Sehat, Yang Mulia," jawab Heer Pieter.
"Apakah saudara sudah siap mengikuti persidangan?" tanya Ketua Hakim.
"Siap, Yang Mulia," jawabnya.