Pukul tujuh lewat lima belas pagi, jalanan dipenuhi oleh kendaraan—beroda dua maupun empat, umum maupun pribadi—akibat dari jalanan yang banyak diblokir karena agenda demonstrasi hari ini.
Kalau begini terus kami akan makin terlambat, padahal jadwal kuliah dimulai pukul delapan pagi ini. Ah, mau tidak mau, kami harus turun di halte terdekat kemudian melewati jalan pintas yang sebenarnya Muhamed paling tidak suka karena di sana banyak anjing liar berukuran besar yang pernah mengejar-ngejarnya. Namun, mereka jinak kepadaku karena sering kuberi makan. Sejak kejadian itu, aku dan Muhamed membuat sepatu roller blade DIY yang rodanya bisa dibongkar pasang untuk melewati jalanan itu.
“Med, kalau begini terus, kita bisa telat. Apa kita enggak turun di halte berikutnya aja?”
“Biar kutebak, kita lewat jalan pintas yang banyak anjing liarnya itu?”
“Yap!”
Dia mengembuskan napas panjang, tanda sedikit keberatan. “Ya, udahlah, aku lebih males enggak bisa masuk kelas atau docent[1]-nya ngasih ceramah mengenai keterlambatan. Bismillah.”
Beberapa menit berlalu, bus yang kami tunggangi mengarungi kemacetan akhirnya sampai di halte berikutnya. Kami turun dari bus kemudian duduk di kursi halte untuk memasang roda roller blade di alas sepatu kami.
“Udah siap?”
“Ja.[2]” jawabnya sambil menarik napas dalam.
“Inget enggak apa kata Kapten Blazkowicz di game Wolfenstein?”
“Iya, tau, kok. Count to four, inhale; count to four, exhale.[3]” Dia menarik kemudian membuang napasnya secara perlahan dan teratur.
“Dit is dom.[4]”
“Hei, Muhamed, ada aku, kok. We rode together. We die together. Bad boys for life.”