Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #3

Chapter 1 Bagian 2 "Blokade"

Pukul tujuh lewat lima belas pagi, jalanan dipenuhi oleh kendaraan—beroda dua maupun empat, umum maupun pribadi—akibat dari jalanan yang banyak diblokir karena agenda demonstrasi hari ini.

Kalau begini terus kami akan makin terlambat, padahal jadwal kuliah dimulai pukul delapan pagi ini. Ah, mau tidak mau, kami harus turun di halte terdekat kemudian melewati jalan pintas yang sebenarnya Muhamed paling tidak suka karena di sana banyak anjing liar berukuran besar yang pernah mengejar-ngejarnya. Namun, mereka jinak kepadaku karena sering kuberi makan. Sejak kejadian itu, aku dan Muhamed membuat sepatu roller blade DIY yang rodanya bisa dibongkar pasang untuk melewati jalanan itu.

“Med, kalau begini terus, kita bisa telat. Apa kita enggak turun di halte berikutnya aja?”

“Biar kutebak, kita lewat jalan pintas yang banyak anjing liarnya itu?”

“Yap!”

Dia mengembuskan napas panjang, tanda sedikit keberatan. “Ya, udahlah, aku lebih males enggak bisa masuk kelas atau docent[1]-nya ngasih ceramah mengenai keterlambatan. Bismillah.”

Beberapa menit berlalu, bus yang kami tunggangi mengarungi kemacetan akhirnya sampai di halte berikutnya. Kami turun dari bus kemudian duduk di kursi halte untuk memasang roda roller blade di alas sepatu kami.

“Udah siap?”

Ja.[2]” jawabnya sambil menarik napas dalam.

“Inget enggak apa kata Kapten Blazkowicz di game Wolfenstein?”

“Iya, tau, kok. Count to four, inhale; count to four, exhale.[3]” Dia menarik kemudian membuang napasnya secara perlahan dan teratur.

Dit is dom.[4]

“Hei, Muhamed, ada aku, kok. We rode together. We die together. Bad boys for life.”

“Hahaha. Dahvala moj, brate.[5]

Selesai memasang roda roller blade, kami mempersiapkan mental, lantas meluncur secara perlahan di atas trotoar agar tidak membahayakan para pedestrian hingga sampai di jalan masuk menuju gang belakang blok perumahan dan gedung-gedung. Di sinilah kami mulai menaikkan kecepatan karena jalanannya turun mengikuti kontur tanah kota ini yang merupakan tanah dataran tinggi.

Kami melewati liku-liku jalanan kecil, gang belakang, trotoar sempit, menukik, berbelok, menanjak, dan meluncur turun sembari berusaha mengatur kecepatan agar tidak celaka. Hingga akhirnya, kami mendekati jalanan sepi itu, jalanan belakang kampus yang hampir tidak ada yang melewatinya. Selain terlihat angker akibat tanaman dan pepohonan rimbun yang ada di samping kanan dan kirinya, yah … seperti yang sudah kubilang, ada banyak anjing liar yang akan muncul dalam hitungan mundur sepuluh.

Grrr, guk, guk, guk!” Anjing-anjing itu keluar.

Muhamed sebetulnya tidak takut akan anjingnya, tetapi yang dia khawatirkan apabila dirinya dijilat atau tergigit, karena air liur anjing itu najis bagi kami berdua sebagai Muslim.

Kaki Muhamed terus bergerak, berusaha mempercepat luncurannya agar bisa kabur dari anjing yang jumlahnya belasan dan terdiri dari berbagai ras yang aku sendiri tidak hafal nama-namanya. Hal yang dapat kudeskripsikan dari belasan anjing tersebut adalah bentuk, ukuran, dan rupa mereka menyerupai hewan serigala. Sementara itu, aku di belakangnya sembari meluncur, melakukan kebiasaanku selama ini, menebar makanan anjing dan daging sisa makan malam. Ketika mendapatkan makanan, mereka berhenti mengejar dan mengerumuni makanan yang kini berceceran di jalanan sembari sesekali menggonggong kepadaku, seolah-olah mengucapkan terima kasih. Aku memutar tubuhku sejenak, tersenyum tipis pada mereka, lalu lanjut meluncur mengikuti Muhamed menuju kampus.

*****

Kami sampai di depan pintu gerbang kampus dengan terengah-engah dan keringat bercucuran di wajah. Aku mengecek jam tangan, waktu menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima pagi. Alhamdulillah, masih ada sisa waktu lima belas menit untuk menuju kelas kami masing-masing.

“Karim, Brate, tunggu sebentar, aku mau duduk, mau ambil napas dulu. Kita, kan, juga harus ngelepas rodanya.”

“Oh, iya.”

Lihat selengkapnya