Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #5

Chapter 1 Bagian 4 "Excuseer me, meneer"

Aku melihat Sofia dari balik rak buku. Dia sedang berjinjit, bahkan terkadang melompat-lompat kecil, berusaha untuk meraih buku yang ingin dia ambil. Entah kenapa, caranya melompat, raut wajahnya yang memelas dan tegang itu seakan-akan ingin meminta tolong. Namun, dia tahan. Semuanya sangat mirip seperti Sofia yang muncul dalam mimpiku akhir-akhir ini.

Dalam mimpiku, dia memiliki nama yang lain—Sofia Safija Sokolović—dan tinggal bersamaku serta ayahnya yang merupakan seorang pekerja keras. Namun, di dalam mimpiku, Ia sering kali meninggalkan kami karena bekerja untuk menghidupi kami. Kami menjalani hari-hari bersama, melalui suka dan duka. Di dalam mimpiku, aku juga sering memanggilnya sebagai Tuan Putri. Kami saling merasakan apa yang kami rasakan dan berusaha memperbaiki satu sama lain. Jika aku sedih, dia akan berusaha menghiburku; jika dia terluka, aku akan berusaha meringankan rasa sakitnya. Semuanya terasa samar-samar, terasa sangat nyata.

Jika kalian ingin tahu, aku punya penyakit aneh. Indra pengecap, penciuman, dan perabaku tidak sepeka manusia di sekitarku. Aku pernah diperiksa oleh kedua orang tuaku ke banyak dokter. Namun, mereka bilang itu adalah penyakit kelainan genetik dalam diriku dan tidak ada obatnya. Nama penyakit yang kuderita adalah congenital analgesia. Sistem saraf perasa sakit di dalam tubuhku mati. Namun, aku tidak pernah merasa risi. Akibat dari kelainanku itu, regenerasi tubuhku cepat, bahkan aku tidak bisa merasakan rasa sakit maupun nyeri dalam bentuk apa pun, sehingga setiap kali terluka, aku sembuh dengan cepat. Hanya saja, aku juga ingin bisa mengalami apa yang orang-orang rasakan.

Aku ingin bisa merasakan rasa pedas di lidahku, mencium harumnya aroma masakan buatan ibuku, atau merasakan rasa sakit akibat sayatan bilah pisau ketika aku memasak. Ah, sudahlah. Hal tersebut membuatku sempat mendapat julukan “Bionic Man”, dan berkat kelainanku itu pula aku cukup sering terlibat dalam perkelahian.

Dulu, aku pernah menemui seorang teman pribumi dari daerah timur Republik Indonesia Serikat yang di-bully melalui kekerasan fisik karena warna kulitnya yang gelap. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghajar orang-orang yang merundungnya. Anak-anak itu menendang, memukul, bahkan mencakarku balik, tetapi aku benar-benar tidak merasakan sakit. Bahkan, ketika mereka mengeroyok dan menyerangku berulang-ulang, aku selalu bisa berdiri kembali dengan tegap tanpa masalah kemudian menghajar mereka semua habis-habisan. Yah, ujung-ujungnya aku sempat kena skors. Namun, bagi ayahku, itu tidak menjadi masalah karena aku sudah berusaha melakukan hal yang benar.

Mengingat itu, timbul ide dalam benakku untuk mencoba menarik hati Sofia walau harus ribut dengan Vinno, Namun, aku langsung berusaha menghilangkan pikiran itu. Itu pikiran jahat, tidak sepatutnya aku punya niat seperti itu. Mengambil sesuatu yang menjadi hak milik seseorang adalah hal yang tercela untuk dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman dan bertakwa. Sebaiknya, aku jalan saja kembali menuju tempat dudukku.

Excuseer me, meneer.[1]

Eh? Sofia, dia memanggilku? Apa benar? Aku menghentikan langkahku, lantas menengok ke arahnya.

Ja, meneer.[2] Anu … permisi, mohon maaf jika mengganggumu, bolehkah saya meminta tolong?”

Aku membalikkan badan ke arahnya, dan untuk pertama kalinya aku melihat Sofia secara utuh dari dekat.

Kedua bola matanya yang bercahaya bak warna perak rembulan, bibirnya yang berwarna merah muda layaknya buah ceri, dan rambut pirangnya yang keemasan itu sangat menawan. Astagfirullah, apa yang kulakukan? Tundukkan pandanganmu, Karim!

“Iya, ada yang bisa saya bantu, Uwe Hoogheid[3]?”

“Saya ingin mengambil buku yang ada rak paling atas itu. Buku yang berjudul The Canon of Medicine. Jika Meneer bersedia, bolehkah Meneer mengambilkannya untuk saya?”

“Iya, Uwe Hoogheid.”

Aku mengangkat tangan kananku ke atas lalu mengambil buku tebal itu. Ketika aku membaca sampulnya, tertulis nama Avicenna.

“Avicenna? Oh, Ibnu Sina, ya?”

Ja, meneer, Avicenna. Hari ini saya dan kelompok saya mendapat tugas untuk membaca buku buatan beliau dan menggunakannya sebagai referensi untuk materi presentasi kelompok kami untuk pertemuan mendatang.”

“Hanya ini saja?”

“Sebenarnya ada empat lagi, semuanya berderet di rak itu, tapi jika Meneer keberatan dan merasa repot untuk mengambilkannya tidak apa-apa.”

“Enggak masalah, kok, Uwe Hoogheid. Akan saya ambil semuanya.” Aku mengambil semua buku yang dia pinta dan meletakkannya di atas lantai.

Uwe Hoogheid, apakah ada lagi yang bisa aku bantu?”

“Sudah, tidak ada. Dank u wel, meneer.[4]” Setelah mengatakan itu, dia berusaha mengangkat buku-buku itu seorang diri. Namun, aku yang melihatnya menjadi kikuk. Buku-buku itu terlalu berat untuk dia bawa sendiri karena badannya yang mungil.

“Mau saya bantu bawa, Uwe Hoogheid?”

Lihat selengkapnya