Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #7

Chapter 1 Bagian 6 "Voorzichtig"

Aku sampai di masjid, berwudu kemudian salat berjemaah. Setelah mengucapkan salam, aku berzikir dan berdoa sejenak. Tak lama, seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Hej, broeder. Asalamualaikum.”

Wa’alaikumussalaam.” Rupanya itu Muhamed.

“Kamu masih ada kelas abis ini?”

“Enggak. Kamu sendiri?’

“Sebenernya ada, tapi docent-nya ngabarin ke ketua kelas kalau beliau enggak bisa hadir. Banyak jalan kena blokade, jadi enggak bisa ke sini.”

“Terus kamu mau ngapain?”

“Pengennya, sih, pulang, makanya tadi nanya kamu ada kelas atau enggak.”

“Oh, ya udah, bentar dulu, aku nanya temenku dulu, masih ada yang mau dicari atau enggak buat tugas, sekalian ambil barang-barangku di perpus. Kalau aku masih ada yang harus dikerjain di perpus, kamu pulang duluan aja.”

“Sip!”

*****

Kami berdua berjalan ke gedung perpustakaan lalu masuk ke dalamnya. Muhamed menunggu di lobi depan perpustakaan, sedangkan aku langsung menemui Ilya.

“Ilya.”

“Yo, Karim.”

“Gimana? Ada lagi yang harus kita kerjain?”

“Buat bagian kita, sih, udah, enggak ada lagi.”

“Alhamdulillah. Kalo gitu, ayo, kita pulang. Kamu tau lewat jalan pintas, ‘kan?”

“Iya, aku tau.”

Kami berdua merapikan dan membawa barang-barang kami, lalu berjalan menuju loker penyimpanan tas. Kami kemudian mengambil tas dan memasukkan barang-barang kami, lalu mengembalikan kunci kepada penjaga perpustakaan. Aku berjalan menuju Muhamed, diikuti oleh Ilya.

“Ayo, kita pulang, Muhamed!”

“Ayo!”

“Yo, Muhamed, lama belum ketemu sejak liburan kemarin. Gimana kabar?” tanya Ilya dengan nada ceria.

“Alhamdulillah, baik.”

“Jadi, selama liburan, apa kamu udah nyoba trik yang aku kasih tau biar anjing liar jinak sama kamu?”

“Beberapa kali udah, cuma ….”

“Ya, dia masih takut sama liurnya,” kataku melanjutkan kalimat Muhamed.

“Ya ampun, mazhab kita sama-sama Hanafi. Liur anjing, kan, cuma di lidahnya doang,” celetuk Ilya.

“Iya, tapi, kan, bisa aja nempel di bagian badannya yang lain.”

“Badan anjing itu suci, Muhamed. Mazhab kita, kan, bilang gitu?”

“Iya, aku tau, cuma masih mau hati-hati aja.”

“Aku sama kamu kebalik, Muhamed. Seharusnya aku yang bermazhab Syafi’i yang takut sama anjing karena di mazhabku anjing itu binatang najis. Alasanku enggak takut anjing lagi cuma karena aku pake fatwanya mazhab Hanafi sama Maliki yang bilang kalau anjing itu suci,” kataku kepada Muhamed.

“Iya, aku tau, kok. Mungkin kalau ada waktu aku coba lagi.”

“Sip!”

Kami bertiga keluar dari perpustakaan, menuju pintu gerbang kampus, keluar dari kampus, lalu terus berjalan menuju jalan pintas. Dalam perjalanan, aku, Muhamed, dan Ilya membicarakan banyak hal, khususnya mengenai pengalaman liburan Ilya, juga perkembangan pesatnya dalam mempelajari bahasa Indonesia hingga bisa selancar sekarang. Tiba-tiba, aku teringat kalau buku sejarah seni rupa Barat seharusnya kupinjam dari perpustakaan.

“Astagfirullah, sial.”

“Kenapa?” tanya mereka berdua.

“Aku lupa, Ilya! Kita, kan, seharusnya minjem buku sejarah seni rupa Barat biar bisa jadi referensi buat anggota kelompok kita juga.”

Lihat selengkapnya