Aku sampai di rumah, membuka pintu pagar, menutupnya, lalu berjalan menuju pintu rumah dan mengetuknya.
Tok, tok, tok.
“Asalaamualaikum,” ujarku dengan berteriak.
“Wa’alaikumussalaam, een moment![1]” Pintu terbuka. “Kamu dari mana aja, Rim? Lama banget,” tanyanya padaku sembari melipat tangannya di depan dadanya seolah-olah menginterogasiku.
“Tadi Sofia dikepung sama anjing liar yang di jalan pintas itu. Ya, aku tolong.”
“Kok dia bisa ada di situ? Jalan pintas kita, kan, enggak kedeteksi sama Google Maps.”
“Dia pake aplikasi Map bawaan iPhone. Katanya cara kerjanya suka beda sama Google Maps, entahlah.”
“Hm, iya, aku juga pernah pake iPhone, Map-nya kadang-kadang ngaco. Terus, gimana dia? Kegigit anjing, luka, atau sejenisnya?”
“Dia enggak kenapa-kenapa, cuma dikepung aja sebelum anjing-anjing itu ngapa-ngapain dia. [1] Aku nganterin dia sampe dormitory-nya di Jalan Syafruddin Prawiranegara sana.”
“Oh, dormitory yang gaya arsitekturnya banyak dekorasi ornamen Eropanya, ya?”
“Iya, kamu tau?”
“Banyak mahasiswa-mahasiswi jurusan Hukum tinggal di situ, teman sekelasku juga tinggal di sana,” ujarnya padaku dengan sedikit menolehkan kepalanya ke arah tempat dormitory tersebut berada lalu kembali menatapku.
“Ah, pantes.”
“Kenapa?”
“Kamu mahasiswa Hukum Internasional, ‘kan?”
“Iya.”
“Enggak, jurusan elite, pantes tinggalnya di situ.”
“Iya, orang-orang kaya,” ucapnya sambil sedikit mengangguk-nganggukan kepalanya.
“Kamu kenapa enggak mau tinggal di dormitory itu? Kamu, kan, juga bisa sebenernya kalau mau. Toh, aku lihat yang tinggal di situ, walau nyampur rasio yang kulit putih kayak kamu banyak.”
“Broeder, di situ banyak yang bukan Muslim, aku enggak nyaman, lebih nyaman tinggal sama kamu. Paman dan Bibi toh juga tinggal di rumah ini lebih luas, lebih leluasa. Kalau dormitory cuma dapet kamar aja.”
“Sempit, ya?”
“Yap! Ya udah, kamu enggak mau masuk?”
“Kamunya ngajak aku ngobrol di depan pintu.”
“Ya kenapa mau ngobrol di depan pintu dan enggak minta masuk?” tanyanya padaku meledek sembari ia menampilkan senyuman jahilnya.