Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #9

Chapter 2 Bagian 2 "Smaakloos"

Aku mengambil piring dan peralatan makan lalu menatanya di meja bersama Muhamed. Ibu dan ayahku akan pulang sebentar lagi. Ibu bilang—melalui WhatsApp—kalau mereka sudah membelikan makanan untuk kami, jadi, kami hanya harus menanak nasi. Ah, untuk Muhamed, sebaiknya aku tanya dahulu, apa dia ingin makan nasi atau roti untuk buka puasa hari ini.

Aku menepuk pundak Muhamed yang sedang menuangkan air keran ke dalam gelas, saat ia sedikit menoleh aku bertanya padanya. “Med, kamu mau makan nasi atau roti?”

“Nasi.” Setelah dia mengatakan itu, wajahnya kembali menghadap ke keran air.

“Kenapa? Mau buat nasi goreng lagi?”

“Enggak, cuma lagi bosen aja sama roti.” jawabnya sembari memutar tuas keran untuk mematikan pancuran airnya.

“Oke."

Beras kumasukkan ke dalam wadah rice cooker, kemudian dicuci dan dimasak. Selama menunggu Ibu dan Ayah pulang, aku bermain PS bersama Muhamed, game balapan mobil. Persaingan kami cukup sengit sampai-sampai terkadang kami saling melirik sinis nan licik satu sama lain. Mobil yang kugunakan dalam game sudah hampir mencapai garis finis bersamaan dengan mobil yang Muhamed gunakan sebelum tiba-tiba ...

Deru mesin mobil yang Muhamed gunakan terdengar lebih keras saat dia berhasil mendahului mobilku.

“Hohoho, tidak semudah itu, Ferguso!” sahut Muhamed dengan angkuhnya.

“Bacot kamu, Muhamed!” sahutku.

Muhamed hanya tertawa licik membalas sahutanku.

Di tengah-tengah permainan, kami mendengar suara dari luar.

“Asalaamualaikum,” itu suara Ibu. Aku segera beranjak dan berjalan menuju pintu bersama Muhamed setelah menekan tombol pause di game yang sedang kami mainkan.

Wa’alaikumussalaam,” jawab kami berdua dari dalam kamar yang berada di lantai atas.

“Tunggu sebentar!” sahutku dari dalam rumah.

Kunci pintu kubuka. Aku mencium tangan kedua orang tuaku, diikuti oleh Muhamed.

“Gimana tadi kuliah? Kena macet?” tanya ibuku.

“Kena, tapi kami sampe tepat waktu, ada jalan pintas. Ibu sama Ayah tadi gimana? Kena macet blokade jalan?” tanyaku.

“Iya, nyampe di bandara tadi belum bisa langsung pulang karena blokade macet parah, baru mereda jam dua siang, itu pun masih macet banget, jadi baru nyampe jam segini. Itu di bagasi mobil ada oleh-oleh buat kalian sama makanan untuk makan malem kita. Tolong bantu dibawa ke dalem, ya,” pinta Ibu.

“Iya, Bu,” jawabku.

“Iya, Bi. Hvala,[1]” jawab Muhamed.

Kami berjalan menuju bagasi mobil. Ayah mengeluarkan koper dari dalam bagasi, sedangkan kami mulai mengambil kantong plastik yang berisi oleh-oleh.

“Punten, Om,” kata Muhamed kepada ayahku.

Oh, nya, sok atuh, tulung dimawa ka jero ieu daharan peuting pikeun kita jeung oleh-oleh pikeun nyaraneh,[2]” ujar ayahku kepada kami berdua.

Hatur nuhun, Om,” jawab Muhamed.

Nuhun, Ayah!” jawabku.

Sami-sami,” balas ayahku.

*****

Aku membawa makan malam dan oleh-oleh itu ke dalam lalu meletakkannya di atas meja, lalu kukeluarkan makan malam dari kantong plastik dan menaruhnya di atas piring, sedangkan Muhamed membawa oleh-oleh ke dalam kamar kami.

Sebentar lagi saatnya akan berbuka puasa akan tiba untukku dan Muhamed, sedangkan Ibu dan Ayah makan malam seperti biasa. Kami mengambil nasi lalu menunggu azan berkumandang.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

“Alhamdulillah,” jawab kami berdua.

Kami mulai dengan meminum teh lalu mengambil lauk. Aku hanya mengambil satu jenis lauk, sedangkan Muhamed dan kedua orang tuaku mengambil lauk yang lain.

“Bismillah,” bisikku bersama Muhamed sebelum makan.

Ah, ya, makanan salah satu hal yang selalu membuatku keheranan. Kenapa aku harus makan? Ya, aku tahu pernah masuk rumah sakit karena telat makan yang menyebabkanku mengalami masalah pencernaan yang cukup parah, tetapi kenapa harus makan?

Penyakit congenital analgesia yang kuderita menyebabkan aku tidak bisa merasakan lapar. Tidak hanya itu, aku juga bingung ketika orang-orang selalu mengatakan kata-kata rasanya manis, asam, pahit, pedas, asin, dingin, panas, gurih. Aku penasaran, apa makna dari kata-kata itu? Aku kurang bisa merasakan apa yang mereka sebut sebagai rasa makanan.

Menyedihkan. Saat orang-orang bisa tersenyum karena makanan yang mereka makan rasanya lezat dan enak bagi mereka, aku kurang dapat merasakan itu sama sekali. Alasannya? Kelainan congenital analgesia yang kuidap membuat saraf penciuman hidungku tidak peka terhadap berbagai jenis bau yang ada di dunia ini dan itu mengakibatkan saraf perasa yang terdapat di lidahku tidak dapat bekerja dengan baik. 

Meskipun tidak risi dengan itu, aku juga ingin bisa merasakan rasa makanan dengan normal walau hanya sekali. Aku ingin memberikan pujian terhadap masakan Ibu bahwa rasanya enak dan lezat sehingga bisa membuatnya senang kemudian memeluknya erat sebagai cara memberitahukannya bahwa usahanya untuk membuatku bahagia dengan memasak makanan untukku bukanlah sebuah kesia-siaan belaka. Ah, sudahlah, makan sajalah untuk bertahan hidup.

Suara sendok dan garpu yang bertabrakan dengan dasar piring terdengar saat aku menyendok suap terakhirku.

Lihat selengkapnya