Empat hari telah berlalu dan hari ini adalah aksi kedua demo mahasiswa di depan Volksraad Kota Sucilangkung. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Willem van Huizen mencabut keputusannya yang ingin menurunkan status kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Aku melihat dari berita, Kak Adriaan sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa dengan jas almamater cokelat—simbol kebanggaan kampus ini—berorasi dengan lantang bersama perwakilan kampus lainnya pada saat aksi pertama.
Aku tidak ikut berdemo karena—pada dasarnya—aku mahasiswa jurusan Animasi. Sudah cukup untukku menyebarkan propaganda melalui media, dengan membuat meme, komik, atau poster sindiran. Ya, itulah kekuatan yang kupunya sekarang dan itulah yang sedang kulakukan saat ini di ruang hijau kampus, ditemani Muhamed dan Ilya, sembari menunggu Sofia datang menemuiku. Dia bilang ingin memberikanku hadiah dan bayaran untuk gambar sketsa wajahnya yang sudah kuberikan kepadanya sekitar pukul sembilan pagi tadi.
“Goedendag[1], Meneer Karim!” sapanya.
Aku menengadahkan kepala yang sedari tadi tertuju pada layar laptop. Kulihat dia sedang berdiri dengan senyumnya yang manis itu dan kurasa tidak hanya aku yang mendongak, tetapi Ilya dan Muhamed juga.
“Het spijt me.[2] Maaf, kalau lama menunggu.” ujarnya padaku sembari sedikit membungkukan tubuhnya.
“Iya, enggak apa-apa, Hare Hoogheid.” sahutku dengan nada lembut sembari menunjukan senyumanku.
“Anu, Meneer. Maaf, ya, kalau mengganggumu dan teman-temanmu. Kelihatannya kalian sedang sibuk mengerjakan sesuatu.” ujarnya, terdengar nada sedikit kecut dan rendah yang disertai raut wajah agak murung karena ia khawatir bahwa kehadirannya telah mengganggu kami.
“Ah, enggak kok, Hare Hoogheid. Saya cuma lagi bikin meme buat nyindir kebijakan Perdana Menteri Willem van Huizen. Kalau mereka enggak tau, deh. Ngomong-ngomong, maaf, ya, Hare Hoogheid, jika terlalu frontal, tapi kami memang benci Willem van Huizen.” paparku dengan nada serta raut wajah serius karena aku ingin menunjukan padanya mengenai keberpihakanku kepada pihak yang ditindas oleh kaumnya. Ya, aku tahu dia adalah seorang Tuan Putri tapi aku tidak tahu dia mendukung pihak mana, oleh karena itu aku harus menunjukan keberpihakanku.
Mendengar pernyataan itu dariku membuatnya sedikit tersentak, tapi aku dapat melihat secara berangsur-angsur sebuah senyuman kembali merekah di kedua sudut bibirnya yang berwarna merah muda cherry itu. Kedua matanya yang bersinar bagaikan cahaya rembulan menatapku dengan lembut, lalu ia membuka mulutnya dan berkata dengan nada lembut yang sedikit kecut. “Saya mengerti kok, saya juga enggak suka sama kebijakan yang mau dia buat. Seandainya bangsawan kayak saya punya kekuatan lebih di dunia politik dan bukan cuma jadi simbol negara, mungkin saya udah minta ke parlemen buat cabut keputusan itu melalui perwakilan yang bisa saya kirim.”
Setelah ia mengatakan hal tersebut, kepalanya sedikit tertunduk. Sesegera mungkin ia menengadahkan kepalanya lagi dan menatapku sembari menunjukan senyumannya, melanjutkan kalimatnya. “Ngomong-ngomong, ini bayaran untuk gambar pesanan saya sama hadiah untukmu, klappertaart[3], bisa dibagi dengan dua temanmu itu.”
Ia memberikanku sebuah tote bag kecil yang berisi wadah alumunium foil yang di dalamnya terdapat klappertart menggunakan kedua tangannya.
“Iya, Hare Hoogheid, makasih.” jawabku padanya dengan tersenyum sembari menerima tote bag tersebut dengan kedua tanganku.
Setelah aku menerima tote bag tersebut, ia kembali pada posisi berdririnya semula. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menjadi terkejut, kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Oh, iya, mohon maaf sebelumnya kalau saya tidak sopan. Perkenalkan, saya Sofia van Amsberg, mahasiswi jurusan Kedokteran semester satu. Salam kenal.” Masih dengan menunjukan senyumannya yang manis, ia membungkukan badannya sedikit pada kami dengan kedua tangannya yang bertaut di bawah perutnya.
“Saya Muhamed Sokolovic, sepupunya Karim dari jurusan Hukum Internasional semester tiga. Salam kenal, Hare Hoogheid.” sahut Muhamed sembari membungkukan tubuhnya sedikit walau ia sedang dalam posisi duduk.
“Saya Ilya Kozlovsky, teman sebangkunya Karim di jurusan Animasi semester tiga. Salam kenal, Hare Hoogheid.” Ilya turut menyahut, melakukan hal yang sama seperti yang Muhamed lakukan.
Setelah mereka berdua saling mengenalkan diri, aku meminta mereka untuk bergeser sedikit upaya Sofia bisa mendapat tempat untuk duduk. “Ngomong-ngomong Muhamed, Ilya, bisa geseran sedikit? Kasih sedikit ruang supaya Hare Hoogheid bisa duduk, kasian beliau dari tadi berdiri terus selama ngobrol sama kita.”