Aku sampai di depan gerbang rumahku lalu berteriak mengucapkan salam, “Asalamualaikum.”
Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka. Seseorang berjalan menuju pintu gerbang dan membukakannya. Aku tidak bisa melihat siapa dia karena sela-sela besinya tertutup oleh plastik pagar berwarna abu-abu buram.
Ketika pintu pagar terbuka, aku melihat Muhamed dan Ilya menghampiriku. Muhamed lantas memelukku dengan satu lengannya melingkar di leherku sambil menepuk-nepuk punggungku. Alhamdulillah, mereka selamat. Bisa melihat wajah mereka setelah kekacauan tadi benar-benar suatu anugerah untukku.
“Alhamdulillah!” ujar Muhamed.
“Iya, alhamdulillah.”
Dia melepaskan pelukannya, lalu dia bersama Ilya cukup terkejut melihat keadaan sekujur lenganku.
“Ayo, masuk cepetan! Itu memarmu harus dikompres, biru banget,” ujar Ilya.
Aku hanya tersenyum tipis sambil masuk ke dalam. Sofia yang melihat sekujur lenganku langsung menanyai kami semua.
“Kalian punya botol plastik bekas atau sejenisnya?”
“Adanya botol tumbler,” jawab Muhamed.
“Di mana?”
“Di lemari atas kuken[1].”