Setelah selesai salat dan berdoa, kami turun ke bawah. Selama melaksanakan salat, kami semua sempat mendengar suara alat masak dapur bergesekan dan bertubrukan. Aku bahkan sempat khawatir kalau Sofia sebenarnya tidak bisa memasak, tetapi dia tetap melakukannya.
Aku berbisik kepada Muhamed dan Ilya. “Kalian nyium bau masakan enggak?”
Mereka berdua mengangguk.
“Baunya gimana? Enak?”
“Harum kok.”
“Iya.”
Alhamdulillah, syukurlah. Aku penasaran dia tadi memasak apa. Kami semua menuju dapur dan melihat bahwa dia sedang mempersiapkan lalapan. Aku sempat mengira bahwa dia sedang memasak masakan Belanda, tetapi ternyata tidak. Sepertinya itu … ayam geprek? Entahlah.
“Jullie, ik deed het![1]” serunya dengan wajah ceria dan nada yang girang dengan posisi badan dan kepalanya sepertiga miring menghadap kami.
“Apa kalian nyium aroma sambal buat ayam geprek ini?” tanyanya pada kami, masih menunjukan senyumannya sembari menunjuk dengan ke lima jari-jemari tangan kanannya ke piring-piring berisi makanan yang telah dia buat.
“Iya, Hare Hoogheid,” jawab Muhamed.
“Aromanya menyengat enggak?”
“Enggak kok, Hare Hoogheid, pas,” jawab Muhamed dengan sedikit menggelengkan kepalanya dan menyunggingkan senyuman.
“Aku kira Hare Hoogheid masak masakan Belanda,” kataku turut menanggapi masakannya.
Ia menggelengkan kepalanya, memberikan jawaban lengkap dengan senyuman.” Nee, saya enggak buat masakan Belanda, soalnya masakan Belanda enggak semenarik masakan di sini,”
“Hare Hoogheid belajar masak makanan khas Indonesia sejak kapan?” tanya Ilya.
“Saya sudah lama tinggal di sini sebenarnya. Saya mengenyam pendidikan tingkat menengah dan tingkat atas di sini.”
“Lantas, Hare Hoogheid sebelum tinggal di dormitory tinggal di sini dengan siapa?” tanyaku penasaran.
“Seorang pelayan sejenis butler[2] yang sekaligus menjadi bodyguard dan chauffeur[3] saya sehari-hari.”
“Apa dia juga masih jadi butler Hare Hoogheid sampai sekarang?” tanya Muhamed yang juga penasaran, sama denganku.
“Ja, hanya dia tinggal di tempat berbeda yang sudah disediakan oleh orang tua saya di sini.”[3]
“Berarti, nanti Hare Hoogheid pulang bakal dijemput dia?”
“Ja, tinggal saya telepon,” ujarnya sembari menata piring yang berisi nasi, ayam geprek, lengkap dengan sambal dan lalapannya.
Kami semua membawa piring kami masing-masing dan mengambil air lalu menaruhnya di meja makan, lantas menarik kursi kami masing-masing dan duduk.
“Silakan dimakan,” ujarnya.
“Iya, Hare Hoogheid, saya berdoa dulu,” ujar Ilya.
“Saya juga,” ujarku.
“Saya juga, Hare Hoogheid,” ujar Muhamed.
Kami bertiga menengadahkan kedua tangan kami, berdoa, lalu mengusap kedua telapak tangan ke wajah dan mulai makan bersama. Tentu aku tidak bisa merasakan apa pun. Namun, aku akan tetap bilang bahwa hidangan yang sudah dia buat dengan susah payah hari ini lekker.
Aku melihat Muhamed dan Ilya makan dengan cukup lahap. Aku yakin makanan yang dibuat Sofia enak.
Di tengah kami mengunyah, Sofia bertanya, “Heeft het gesmaakt? Is het lekker?[4]”
“Ja, Hare Hoogheid, het is lekker![5]” jawab Muhamed sambil tersenyum.
“Enak, Hare Hoogheid,” ujar Ilya.
“Alhamdulillah, enak kok, Hare Hoogheid,” sahutku padanya.
Mendengar jawaban dari mulut kami bertiga, dia tersenyum riang dengan mata terpejam. Kedua pipinya mulai mengeluarkan rona merah. Ah, dia terlihat imut dan menawan saat ini. Sayang, saat-saat seperti ini akan berlalu.
Kami menghabiskan makanan, lalu mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia kembali tersenyum sebelum mengucapkan sama-sama, kemudian kami semua membawa peralatan yang telah kami gunakan dan mencucinya di wastafel dapur.
Azan Magrib yang telah berkumandang sedari tadi membuat kami meminta izin kembali kepada Sofia untuk permisi melaksanakan salat. Dia mengangguk, lalu mempersilakan kami bertiga melaksanakan ibadah kami. Setelah itu, kami bertiga turun ke bawah lalu duduk di depan televisi, menyalakan PlayStation dan mengisi kegiatan dengan bermain game.