Tepat pukul enam pagi, aku, Muhamed, dan Ilya datang memenuhi undangan dan seruan tidak resmi dari berbagai organisasi mahasiswa kampusku untuk mendatangi “Verlichte Kaarsen” atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai upacara lilin.
Upacara ini diadakan di taman kota. Suasana di sini cukup ramai karena yang datang tidak hanya dari kampusku, tetapi dari seluruh perguruan tinggi yang ada di kota ini. Bahkan, juga dihadiri oleh masyarakat setempat yang tergerak hatinya untuk mengikuti upacara ini.
Warga ikut membantu menata lilin dan dekorasi. Ketika waktunya sudah tiba, dengan menggunakan loud speaker, pemandu upacara lilin memulai prosesinya. Dimulai dari kata sambutan dan perkenalan perwakilan dari setiap kampus serta lapisan masyarakat, dilanjutkan dengan berdoa. Terakhir, menuliskan doa dan harapan di atas kertas kemudian ditempel di bagian taman kota yang dindingnya dipenuhi dengan foto korban penyerangan demonstrasi kemarin.
Terdengar suara tangisan yang cukup banyak dari kerumunan massa. Mereka adalah teman, keluarga, dan kerabat korban. Mendengar tangisan mereka membuatku bersyukur bahwa aku tidak kehilangan siapa pun hari ini. Alhamdulillah. Namun, melihat semua ini membuatku berpikir, apa yang akan terjadi jika kemarin aku tidak menyerang dua petugas schutterij itu? Apakah aku bisa melihat Muhamed, Ilya, atau Sofia lagi? Ah, aku tidak tahu.
Kalimat penutup pun akhirnya dilontarkan, tanda bahwa acara telah selesai. Kerumunan mulai membubarkan diri, berlalu-lalang ke sana kemari. Perhatianku yang sedari tadi teralihkan oleh kalimat penutup perlahan mulai menengok ke sana dan kemari. Muhamed tidak ada.
“Ilya, kamu tadi lihat Muhamed ke mana, enggak?” tanyaku.
“Dia, kan, ada di sebelah ....” Ilya menengok dan mulai menyadari kalau Muhamed tidak ada. Dia pun turut mengedarkan pandangannya ke sana kemari.
Kami kemudian mulai menerobos kerumunan, menanyai orang-orang kampus perihal lokasi kerumunan mahasiswa fakultas hukum. Setelah mendapat cukup informasi, kami pun pergi ke sana untuk mencari keberadaan Muhamed.
Sesampainya di kerumunan mahasiswa fakultas hukum, kami mulai bertanya, apakah mereka berasal dari jurusan hukum internasional atau bukan. Ketika menemui rombongan mereka, kami langsung menanyai mereka satu per satu, apakah ada yang mengenal Muhamed.
Banyak yang menjawab ya, tetapi tidak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan Muhamed. Mereka berusaha menenangkan kami dengan berkata bahwa mungkin dia sedang pergi ke vending machine untuk jajan atau pergi ke toilet, hingga akhirnya kami berusaha untuk tenang.
Setengah jam berlalu, belum ada kabar. Dua jam berlalu dan masih belum ada kabar, sedangkan kerumunan mulai berkurang. Kami memutuskan untuk mencari beberapa orang yang tadi kami tanyai dan menjelaskan keadaannya, lalu meminta bantuan mereka untuk menelepon Muhamed melalui WhatsApp ataupun LINE. Namun, tidak ada respons atau jawaban, bahkan ketika dikirim spam.
Ini buruk! Baru saja aku melakukan pengandaian mengenai kehilangan seseorang yang dekat denganku, lalu tiba-tiba saja itu terjadi. Sial!
“Sial, kalau begini, enggak ada cara lain lagi. Berharaplah semoga smartphone-nya enggak dimatiin. Bismillah.” Ilya mulai mengutak-atik smartphone-nya.
Walaupun Ilya seorang mahasiswa animasi, dia juga seorang techno geek dan seorang hacker yang cukup andal. Dia belajar mengenai teknologi informasi komunikasi dan cara meretas melalui ayahnya yang merupakan mantan anggota KGB di bidang tersebut. Kendatipun teknologi keamanan informasi dan komunikasi terus berkembang, dia tidak pernah berhenti belajar mengenai seluk-beluknya dan cara menerobos keamanannya saat waktunya luang. Maka, jika ingin membuat seseorang bertekuk lutut di hadapannya, dia dapat melakukannya dengan mudah dengan meretas gawai elektroniknya. Oleh karena itu, aku bersyukur bisa dekat dengan Ilya dan berada di sisi baiknya.
“Ketemu, alhamdulillah.”
“Dia di mana?”
“Bangunan tua beberapa kilometer dari sini. Karim, buruan pesen Grab dan minta dia anterin kita ke situ.”
“Makasih, Ilya,” jawabku.
“Enggak, jangan bilang terima kasih dulu sampe ini semua selesai.”
Aku mengikuti permintaannya, memesan GrabCar lalu pergi ke bangunan tua yang Ilya dapatkan alamatnya. Kami membayar ongkos perjalanan kepada sopir yang mengantar kami, lalu mengucapkan terima kasih dan kemudian turun.
Kami mulai menyusuri sekeliling bangunan tua ini, mencari jalan masuk menuju ke dalam. Aku dan Ilya mendekati sebuah pintu masuk yang berada dekat dengan garasi menuju basement bangunan ini. Kami masuk ke dalam. Rupanya pintu ini adalah jalan masuk menuju tangga darurat yang berada di dekat pos keamanan, lengkap dengan satu monitor CCTV yang penjaganya baru saja kembali dari pintu tersebut.