Sudah beberapa hari sejak kejadian Muhamed diculik membuatnya menjadi lebih sigap, gelisah, dan tak tenang. Aku menyadarinya saat memperhatikan gerak-geriknya dengan saksama ketika kami berdua bepergian. Sepertinya wajar jika dia bersikap seperti itu. Namun, alasan dia ditangkap tidak logis. Dari semua orang yang ditangkap sejak demo yang terjadi kemarin, mengapa hanya Muhamed yang ditangkap dengan alasan untuk mengancamku agar tidak mendekati Sofia?
Maksudku, aku tahu dia seorang bangsawan, salah satu calon penerus takhta Kerajaan Belanda dan sudah bertunangan. Ya, memang tak sepatutnya aku yang hanya seorang rakyat jelata dekat dengannya. Kendatipun begitu, itu bukan salahku. Dia menjadi dekat denganku akhir-akhir ini karena serangkaian kejadian yang telah ditakdirkan untuk terjadi dan menghubungkanku dengannya. Belum termasuk usahaku dalam mencari tahu makna di balik mimpi yang kualami setiap malam. Penggambaran mimpiku makin jelas, memperlihatkan rangkaian cerita antara kami berdua, seolah-olah aku berada di dunia yang lain, dunia yang sebenarnya, dunia yang bisa kurasakan bersamanya. Apa mungkin aku telah jatuh cinta sedalam-dalamnya kepadanya?
Aku memang telah berkata bahwa diriku tidak akan tinggal diam jika tunangannya menyakitinya, aku tidak ingin dia disakiti dan tidak mendapat kebahagiaan. Namun, apa yang bisa kulakukan menghadapi orang seperti itu? Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak punya kuasa apa pun untuk menolongnya dari ketidakbahagiaan yang dia alami. Lagi pula, kalau aku memaksakan diri, itu hanya akan membahayakan Muhamed.
Aku tahu diriku tidak bisa merasakan rasa sakit, tetapi bukan itu yang aku permasalahkan. Mati pun aku tidak peduli jika membela hal yang benar. Aku hanya tidak ingin hidup Muhamed terancam lagi. Mungkin pepatah bahasa Inggrisnya agak kasar, tetapi “Bro’s before hoes” yang bermakna saudara/teman harus didahulukan untuk ditolong sebelum sundal. Itulah yang kuutamakan. Sama seperti sekarang, aku sedang berdoa untuk keselamatannya pada waktu setelah salat Zuhur di masjid kampus kemudian tidur di sisi masjid yang kosong, berdua bersamanya, menunggu hujan mereda.
Di tengah deru suara hujan, dia bertanya, “Karim, mengenai Hare Hoogheid, apa dia ngubungin kamu lewat LINE atau semacamnya?”
“Enggak. Kenapa, Muhamed?”
“Semalam dia ngubungin aku.”
“Oh?”
“Iya, dia bilang dia minta maaf.”
“Karena?”
“Enggak tau. Cuma itu doang yang dia bilang ke aku.”
Muhamed menyerahkan smartphone-nya. Aku membaca percakapannya dengan Sofia. Dia menyapa Muhamed dan menanyakan kabarnya dalam bahasa Indonesia lalu menanyakan kabarku juga.