Hujan mereda, aku dan Muhamed pun pulang. Sampai di rumah, kami mengganti pakaian, kemudian menonton berita mengenai perkembangan kebijakan. Kebijakannya, yakni tentang langkah yang akan diambil oleh Perdana Menteri Willem van Huizen dan parlemen yang terpecah belah pendapatnya, beserta berita nasib para mahasiswa yang ditangkap oleh apparaat[1] kepolisian dan belum dibebaskan. Sembari itu, saat mengecek media sosial, banyak berita pengakuan para mahasiswa yang disiksa terpaksa mengaku dan menerima hukuman atas apa yang mereka tidak lakukan berseliweran. Uniknya, dalam berita ini terdapat beberapa mahasiswa dari kalangan orang Belanda yang ditanyai pendapatnya.
Jawaban mereka bervariasi. Namun, dari semua itu, mereka menyatakan bahwa Indonesia adalah rumah mereka. Mereka hidup berdampingan bersama kami yang mayoritas muslim. Mereka tidak masalah dengan simbol agama. Itu semua tidak ada hubungannya dengan ekstremisme dan terorisme. Mereka menyatakan di sini bukan Eropa, tidak sepatutnya pemerintah menetapkan kebijakan antisimbol agama layaknya yang dilakukan di Eropa. Beberapa dari mereka, termasuk Kak Adrian—ketua BEM kampusku—mengatakan jika yang harus disebut sebagai kegiatan teroris yang mengancam kehidupan adalah kegiatan perbudakan, penjajahan, eksploitasi, dan genosida yang sebagian leluhur mereka lakukan kepada pribumi pada masa lalu.
Jawaban Kak Adrian membuatku kagum kepadanya. Sikap yang diambil selayaknya sebagai seorang muslim. Dia dan keluarganya memanglah mualaf. Mungkin sebagian orang di sini akan tetap menilainya sebagai penjajah, khususnya para anggota kelompok ekstrem pengikut Soekarno. Kendatipun begitu, aku lebih suka menilainya sebagai seorang muslim, bukan Belanda, bukan pula Indonesia. Selesai berita disiarkan, aku dan Muhamed pergi ke atas, melaksanakan salat Asar lalu memasuki kamar kami. Tak lupa juga memasang alarm agar kami terbangun saat Magrib tiba, kemudian kembali tidur.
Alarm berbunyi. Aku bangun dari tidur kemudian melaksanakan salat Magrib berjemaah bersama keluargaku. Setelahnya, aku kembali ke kamar mendahului mereka. Aku mendapat pesan WhatsApp dari Sofia.
“Meneer Karim, kamu online?”
“Ya, Hare Hoogheid, kenapa?”
“Mener Karim, kenapa kamu ngelakuin ini?”
“Ngelakuin apa?”
“Tolong jangan pura-pura enggak tau.”