Beberapa hari berlalu sejak percakapanku dengan Sofia berakhir. Beberapa hari pula dia tidak terlihat di kampus. Biasanya, aku menemukan dirinya merenung di perpustakaan atau gazebo ruang hijau kampus. Namun, akhir-akhir ini dia tidak ada. Aku harap dia aman, itu karena mungkin hari ini akan ada kerusuhan lagi.
Ya, hari ini akan diadakan demonstrasi lagi mengenai kebijakan yang akan diterapkan oleh Perdana Menteri Willem van Huizen. Aku dan Muhamed berada di titik kumpul aksi massa yang akan berjalan ke depan Gedung Volksraad bersama para mahasiswa dari seluruh kampus kota ini.
Ilya tidak mengikuti demo karena dia warga negara asing. Kendatipun begitu, dia berdoa semoga kami aman dan akan membantu dengan cara yang dia bisa mengenai persoalan yang sedang kami hadapi, khususnya membantuku menang melawan Vinno.
Menurut informasi yang berhasil Ilya gali, dia adalah seorang neo-Nazi, seseorang dengan kedudukan tinggi dalam organisasi Deep State rahasia Kerajaan Belanda yang beraliran fasis. Dia juga penggemar ideologi Nazi Jerman yang tertuang dalam buku Mein Kampf beserta partai Belanda yang menjadi sekutunya pada masa perang Dunia Kedua, yaitu Nationaal-Socialistische Beweging atau disingkat sebagai NSB. Tidak heran sikapnya seperti itu di depanku dan orang-orang sepertiku. Aku harap Allah memberikanku kemenangan atasnya atau dia mendapat hidayah. Aamiin.
Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya instruksi diberikan. Kami mulai berjalan, meneriakkan yel-yel mahasiswa, hingga akhirnya kami sampai di depan Gedung Volksraad. Para schutterij sudah baris berjejer mengenakan atribut lengkap, bahkan sebagian juga ada yang membawa senjata api laras panjang. Ironisnya, sebagian dari petugas itu adalah pribumi.
Rupanya benar, penyebab Indonesia mudah dijajah bukanlah ulah Belanda, tetapi ulah penguasa pribumi dan para pribumi lain yang menindas sesama mereka. Ironis memang. Mau disebut pengkhianat pun percuma karena aku sendiri masih bingung mengenai apa makna pengkhianat yang sebenarnya. Di sekelilingku banyak mahasiswa Belanda yang ikut berdemo, membela hak dasar manusia di sini. Di sisi lain, mereka adalah pribumi yang berpakaian lengkap, siap untuk menyakiti, menghajar, membunuh kami semua.
Orasi dimulai. Kak Adrian beserta ketua BEM dari perguruan tinggi lain mulai mengeluarkan tuntutan dan kecaman yang berisi protes terhadap kebijakan yang sedang didiskusikan di parlemen, yang kemudian akan disahkan dalam waktu dekat ini. Mereka juga meminta agar ada perwakilan dari Volksraad yang keluar dan bersedia bernegosiasi dengan mereka, atau setidaknya mempersilakan perwakilan kami untuk masuk lalu bernegosiasi. Namun, nihil, tidak ada respons apa pun. Sudah kuduga, mereka bukan wakil rakyat. Anggota Volksraad adalah wakil dari keinginan penguasa dan perwakilan ego mereka sendiri. Sarang para bedebah yang matanya menjadi buta, telinganya menjadi tuli, dan mulut mereka membisu ketika keinginan rakyat bukanlah keinginan mereka.