Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #23

Chapter 4 Bagian 3 "Kunjungan Tuan Putri ke Penjara"

Hari ini, aku, Putri Sofia van Oranje-Nassau van Amsberg, pergi ke penjara untuk menemui Meneer Karim. Mungkin kalian bertanya mengapa aku memanggilnya meneer? Jawabannya, itu adalah panggilan sayangku untuknya. Dia seorang pria yang baik. Dia menyelamatkanku ketika kampus diserang. Dia juga menjaga pandangan dan sikapnya di hadapanku, tidak seperti Heer Vinno yang selalu melihatku dan memperlakukanku penuh nafsu.

Walau dia hanya rakyat jelata, sikapnya ditunjukkannya membuatku kagum hingga aku merasa mulai menyayanginya. Sikapnya jugalah yang membuatku tertarik untuk belajar lebih dalam mengenai agama Islam. Demikian pula keramahtamahan serta kebaikan yang kuterima dari teman-temannya ketika aku berkunjung ke rumahnya setelah kampus kami diserang.

Pribumi di sini adalah orang-orang baik, tetapi kenapa masih ada orang-orang yang melihat mereka dengan tatapan kolonial? Kenapa mereka tidak menyadari bahwa sedari dahulu, sebagian leluhurku yang berulah menyebabkan pribumi menderita, sedangkan kami yang menikmati kekayaan dari tanah ini? Aku bingung, apa mereka tidak membaca buku-buku mengenai cerita perbudakan dan kolonialisme, seperti perbudakan Amerika Serikat yang menyebabkan perang saudara atau buku buatan Belanda sendiri yang berjudul Max Havelaar? Ah, aku tidak tahu.

Selama di perjalanan, aku melihat ke samping kiri dan kananku. Polisi mengamankan jalanan, seperti membuat blokade agar mobil yang dikendarai butler-ku bisa lewat tanpa

hambatan. Di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang mobil juga dijaga oleh polisi yang mengendarai sepeda motor. Bicara soal kunjunganku ke penjara juga pernyataanku yang mendukung hak kaum pribumi di sini, kedua orang tuaku sempat terkejut dan mempertanyakanku dengan kalimat ketus dan menusuk pada awalnya. Namun, selayaknya orang Eropa, pada umumnya mereka cukup terbuka untuk menerima alasan yang kukemukakan.

Pada dasarnya, alasanku mendukung pribumi di sini adalah mengenai masalah kepercayaan dan hak beribadah. Itu adalah hak dasar manusia, kebebasan yang manusia miliki untuk menjalankan kepercayaannya. Kami sebagai orang Eropa selalu membicarakan mengenai kebebasan, tetapi kenapa pula merenggut kebebasan orang lain untuk menjalankan kepercayaannya dengan menerapkan peraturan antisimbol agama itu? Jika kebebasan itu direnggut, bukankah berarti kami juga termasuk hipokrit?

Setelah argumen itu, mereka mulai melunak dan menanyakanku mengenai persoalan stereotipe Islam yang mengekang kebebasan, terutama cara berpakaian gadis-gadisnya yang selalu tertutup. Hal ini membuat orang tuaku melontarkan argumen, bukankah itu merenggut kebebasan? Jawabanku, selama tinggal di sini adalah mereka yang berpakaian seperti itu adalah pilihan mereka sendiri karena banyak juga gadis muslimah di sini yang tidak berpakaian seperti itu. Aku juga menunjukkan pada mereka salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan kalau Islam itu bukan paksaan. Pada akhirnya, mereka mendukung keputusanku dan memercayakanku untuk menerima tanggung jawab atas apa yang kulakukan.

Aku sampai di penjara. Saat keluar dari mobil, para polisi sudah berbaris, membuka ruang agar aku bisa masuk. Sembari berjalan, para jurnalis dan wartawan mulai menggunakan kamera mereka, memotret diriku sambil menanyakan banyak hal, terutama mengenai pernyataan kontroversialku yang mendukung aksi mahasiswa yang terjadi akhir-akhir ini. Namun, tak kuhiraukan. Aku akan menjawab mereka nanti setelah kunjunganku.

Aku masuk ke dalam lobi penjara bersama butler-ku. Kami menyerahkan kartu identitas. Petugas memeriksa identitas dan barang bawaan kami. Kami mendapat nomor antrean lalu menunggu untuk dipanggil sebelum diperbolehkan masuk ke dalam ruang besuk tahanan.

“Berikutnya, nomor sebelas, silakan masuk!” Sipir penjara memanggil nomor antrean kami berdua.

Kami pun masuk. Sipir penjara ini orang Belanda, sama sepertiku. Entah apa yang dia pikirkan.

Goedendag, hoe gaat het, meneer?[1]” sapaku.

Goedendag, Hare Hoogheid. Het gaat goed, bedankt voor het vragen.[2]

“Saya harap Anda menyukai pekerjaan Anda.”

“Ah, entahlah, Hare Hoogheid, saya berusaha menyukainya. Namun, adakalanya saya sebal ada di sini, mengurusi tahanan yang sikapnya menyebalkan.”

“Mengenai tahanan yang namanya Karim dan Muhamed, apa mereka menyebalkan?”

“Ah, mereka, tidak, Hare Hoogheid. Mereka pendiam, tapi saya heran kenapa para penyidik memperlakukan mereka seperti samsak tinju. Saya iba dengan mereka. Mereka bukan kriminal, mereka hanya manusia yang memperjuangkan hak mereka. Saya memang orang Belanda, tapi tetangga saya banyak yang pribumi dan mereka memperlakukan saya dengan baik. Bahkan, ketika saya sakit dan dirawat di rumah sakit, mereka menjenguk dan memberikan saya banyak makanan, termasuk Pak Ustad yang tinggal di lantai apartemen tempat saya tinggal. Sedangkan orang Belanda yang tinggal di apartemen saya hanya satu orang yang menjenguk. Kejadian itu nempel di ingatan saya, ngebuat saya terharu dan simpati sama mereka. Saya tidak menyangka orang-orang Belanda yang asalnya dari Eropa banyak yang memiliki pemikiran terbelakang ala kolonial. Als ik een inlander was.[3]

“Kenapa Anda berharap Anda adalah seorang pribumi?”

“Supaya saya berhenti dicap sebagai pengkhianat oleh atasan saya karena iba dengan mereka,” katanya sambil menunjuk Muhamed, Karim, dan beberapa mahasiswa lain yang ditahan di sini. “Anda tau? Saya kagum dengan Anda, Hare Hoogheid. Anda melakukan hal yang benar. Rasisme adalah hal yang buruk dan tidak masuk akal. Bagi saya, apa pun warna kulit manusia, isi perutnya sama saja, sama-sama menjijikkan, hanya kotoran.”

Ja, dat klopt. Oh, ik heb iets voor u.[4]” Aku mengeluarkan satu kotak makanan kecil dan memberikan kepadanya.

Wat is het, Hare Hoogheid?[5]

Klappertaart, voor u.[6]

Dank u, Hare Hoogheid.”

Geen dank.[7] Kalau bisa, bagikan klappertaart ini untuk tahanan yang bernama Karim dan Muhamed. Excuseer mij.[8]

“Ya, akan saya laksanakan. Baik, Hare Hoogheid, silakan.”

Aku melangkah masuk ke dalam ruang besuk kemudian kudengar sipir penjara itu berbisik, “Vrijheid of dood.” Ah, rupanya dia mengetahui slogan itu juga. Aku rasa, perasaannya kepada tanah yang dia tinggali sangat dalam.

Aku masuk ke dalam ruang besuk, menemui Karim dan Muhamed. Benar apa yang Kak Ilya katakan. Aku melihat wajah mereka berdua. Kami dipisahkan oleh pembatas kaca. Aku duduk di kursi lalu mengangkat telepon dan berbicara dengan Meneer Karim.

“Halo ...”

“Ya, Hare Hoogheid,” jawab Meneer Karim sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya