Aku masuk ke dalam mobil setelah menjawab pertanyaan dari para wartawan. Mobil mulai berjalan, diikuti oleh para polisi yang mengawal perjalananku. Di dalam mobil, aku membuka akun media sosial yang dikhususkan untuk keperluan khalayak umum yang dikelola oleh admin dari pihak kerajaan. Admin telah meng-update kegiatan kunjunganku ke penjara hari ini beserta menuliskan status dan caption yang sudah kutulis dan kukirimkan kepadanya.
Aku membuka kolom komentar dan membaca isinya. Banyak yang menghina, tetapi banyak juga yang mendukung. Hinaan yang kudapat berupa julukan inlanders hoer (pelacur pribumi), sumpah serapah kematian seperti vaal dood bij kanker (matilah dengan kanker), atau lellebel (pelacur).
Ada juga hinaan dari orang Indonesia pribumi yang berkata, “Kami enggak butuh kebaikan penjajah, semoga cepet mati kafir anjing.” Namun, banyak juga yang membelaku seperti, “Dia memang kafir, tapi seenggaknya dia berbuat dan peduli sama rakyatnya, enggak kayak lo yang bisanya cuma koar-koar, nyinyir, nyebar kebencian di internet.” Kemudian terjadi perdebatan di kolom komentar sejenis itu yang membahas sejarah kekejaman yang leluhurku lakukan di masa lalu. Kendatipun begitu, mereka masih membelaku karena setiap perayaan kemerdekaan RIS, aku dan para bangsawan yang tinggal di sini menyatakan permintaan maaf kami kepada penduduk RIS. Paduka raja selalu menggelontorkan uang hibah membayar ganti rugi untuk keluarga korban perang pada masa lalu setiap tahunnya yang dimulai sejak tahun 2013.
Mereka juga menyemangatiku dengan kalimat lainnya.
“Jangan dengerin komentar yang buruk, Tuan Putri, aku padamu.”
“Tuan Putri Sofia, Anda melakukan hal yang benar, jangan menyerah, terus suarakan kebenaran.”
“Tuan Putri Sofia, cantik, ramah, baik, pinter lagi. Kami bangga sama kamu.”
Terkadang, ada komentar yang berisi curhatan hati masyarakat seperti, “Saya orang Belanda, lahir, tinggal, dan besar di sini dengan damai sama pribumi. Tapi, semenjak perdana menteri berulah, suasana jadi tegang. Cuma Anda yang bikin suasana yang sekarang jadi adem. Dank u, Hare Hoogheid, we houde van u.[1]”
“Hare Hoogheid, kenapa Hare Hoogheid tadi nangis saat ngejenguk teman Hare Hoogheid?” tanya butler-ku tiba-tiba.
“Saya kasihan dengan apa yang dia alami karena dia dianggap membahayakan nyawa saya.”
“Beneran cuma karena itu aja? Saya rasa ada sesuatu yang lebih daripada itu.”
“Maksudnya?”
“Saya perhatiin, saat berbicara dengan teman Hare Hoogheid yang bernama Karim itu, muka Hare Hoogheid sempat memerah kemudian Hare Hoogheid ngungkapin sesuatu yang kalau saya enggak salah denger Hare Hoogheid jatuh cinta dengannya.”