Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #25

Chapter 4 Bagian 5 "Rantai Takdir Tuhan"

Aku, Wisnu Wijaya, pelayan Hare Hoogheid Sofia van Oranje-Nassau van Amsberg yang kini sedang mengendarai mobil yang mengantarkan kami berdua ke kediamanku. Aku membangunkannya yang sedang tidur. Melihat wajahnya yang tertidur pulas mengingatkanku akan anakku yang sudah meninggal. Tidak, aku tak kan kehilangan lagi. Aku akan melindunginya walau nyawaku taruhannya.

Aku menengok ke samping. Tanganku menggoyang-goyangkan bahunya dan menepuk-nepuk pahanya yang ditutup rok panjang, berusaha membangunkannya sambil memanggil-manggilnya.

Hare Hoogheid? Hare Hoogheid?

“Eh? Hm, ja?”

We zijn aangekomen.[1]

Oké,” jawabnya kemudian membuka pintu, keluar dari mobil bersama denganku setelah aku menarik tuas untuk membuka bagasi mobil.

Aku melihat dia pergi menuju bagasi kemudian membukanya.

Hare Hoogheid, jangan.”

“Kenapa?”

Hare Hoogheid tamu saya dan Hare Hoogheid juga tuan saya, harusnya saya yang nurunin koper.”

“Bukannya Tuan Wisnu ngerasa kalau saya anak Tuan Wisnu? Jadi, saya kira enggak masalah kalau saya angkat koper saya sendiri dan ngeringanin beban Tuan.”

Ah, dia selalu seperti ini. Setiap kali ada yang ingin membantunya melakukan sesuatu, sering kali dia menolak secara halus, kecuali jika dia memang benar-benar membutuhkan bantuan.

“Iya, Hare Hoogheid, saya ngerti. Kalau gitu, saya buka pintu rumah saya dulu, Hare Hoogheid langsung masuk ke dalam, istirahat.”

“Terima kasih, Tuan Wisnu,” jawabnya.

Aku membuka pintu rumah. Dia masuk, sedangkan aku memasukkan mobil ke dalam garasi. Setelah selesai mengurusi mobil, aku masuk ke dalam dan melihat dia sedang berdiri, sepertinya dia menungguku masuk.

Hare Hoogheid, kenapa enggak duduk?”

“Kan tuan rumahnya Tuan Wisnu, saya ngerasa enggak enak kalau belum dipersilakan duduk. Mungkin di Belanda saya bisa langsung duduk, tapi budaya di sini setau saya beda, jadi saya nunggu Tuan Wisnu.”

“Ah, enggak apa-apa, duduk-duduk aja. Ini, kan, juga sebenernya rumah Hare Hoogheid dulu, cuma karena Hare Hoogheid pindah ngekos, jadinya saya yang merawatnya.”

“Iya, saya inget kok. Rumah ini enggak banyak berubah, ya?” tanyanya sambil berkeliling melihat-lihat sekitarnya. Sepertinya dia sedang mengalami nostalgia. Dia kemudian melihat kumpulan foto-foto dirinya bersamaku dan kedua orang tuanya. Beberapa waktu berlalu, dia terus memperhatikan foto-foto yang ada di meja hingga berhenti pada satu foto yang isinya adalah dirinya yang berfoto dengan mendiang anakku.

“Tuan Wisnu?”

“Ya, Hare Hoogheid?”

“Kenapa setiap kali saya peduli dan sayang sama seseorang, orang itu selalu berada dalam bahaya?” tanyanya sambil menatapku dengan matanya yang mulai berbinar-binar, berusaha menahan kesedihan yang dipendamnya.

“Maksud Hare Hoogheid apa?”

“Mendiang anak Tuan Wisnu, Laras, saya kangen sama dia.”

“Saya juga, Hare Hoogheid.”

Lihat selengkapnya